Kamis, 02 September 2010

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Al-Gharim

Definisi

Al-Gharim/Pailit
Al-Gharimun, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat zakat, adalah orang yang berhutang dan jatuh pailit. Berhutang ada tiga macam:

1. Hutang demi memenuhi kebutuhan dan kebaikan dirinya sendiri, maka ia diberi zakat sekedar untuk membayar hutangnya, jika hutang itu bukan untuk tujuan maksiat. Dan berlebih-lebihan dalam nafkah (belanja hidup) adalah haram, demikian dikatakan Imam Al-Rafii dam diikuti oleh Imam Nawawi. Kedua imam tersebut berkata dalam Bab Boikot: Yang diberi zakat untuk pelunasan hutangnya adalah hutang untuk perkara mubah, dan ia tidak memiliki sesuatu yang bisa untuk melunasinya. Jika ternyata ditemukan/diketahui, ia memiliki harta, baik uang ataupun barang yang bisa melunasi hutangnya, maka tidak boleh diberi zakat. Alasannya adalah karena ia sendiri bisa melunasi hutang tersebut. Namun, jika hanya bisa membayar sebagiannya, maka berilah zakat sebesar sisa hutangnya. Jika ia mampu untuk mencari nafkah, maka ia diberi zakat untuk menutup hutangnya? Maka, yang terbenar adalah ia diberi zakat, karena jika tidak maka ia tidak mampu membayarnya kecuali setelah bertahun-tahun lamanya. Dan ini memadharatkan kedua pihak sekaligus: penghutang dan pemilik uang. Apakah disyaratkan hutang itu harus yang jatuh tempo? Ada khilaf ulama dalam hal ini. Imam Rafii berpandangan bahwa tidak disyaratkan hutang harus jatuh tempo. Namun Imam Nawawi berpandangan sebaliknya, yaitu hutangnya harus merupakan hutang yang jatuh tempo.

2. Berhutang demi mendamaikan dua orang/kelompok yang sedang bertikai. Semisal untuk mendudukan permasalahan yang terjadi diantara dua orang atau dua pihak. Ataupun takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan menimpa dua pihak, maka ada seseorang yang berhutang untuk mendamaikan dan memadamkan api fitnah, semisal dua pihak yang terlibat kasus pembunuhan namun belum diketahui siapa pembunuhnya. Konsekuensi atas pembunuhan adalah dihukum bunuh atau membayar diyat. Orang yang berperan sebagai penengah ini lalu berhutang. Maka, orang ini berhak mendapatkan zakat bagian gharim, baik berupa property, barang, maupun uang.

3. Berhutang dengan agunan. Tentang ini ada beberapa keadaan:

* Debitor/Gharim dan barang agunannya tidak ada, maka ia diberi zakat untuk bisa melunasi hutangnya.

* Debitor dan barang agunannya ada, maka orang yang demikian tidak boleh diberi zakat.

* Agunannya ada namun debitornya tidak bisa embayar hutangnya, jika barang agunan itu diagunkan dengan seizinnya maka tidak boleh diberi zakat namun jika tanpa seizinnya maka ia diberi zakat menurut pendapat yang terbenar sebab agunnya tidak bisa kembali lagi kepadanya.

* Ketahuilah bahwa gharim, ia diberi zakat ketika hutangnya tidak bisa ia bayar, namun jika ia bisa membayarnya maka tidak boleh diberi zakat, sebab berarti ia bukan gharim/pailit. Demikian juga orang yang bisa mengeluarkan hartanya untuk membayar, pada awalnya, maka ia tidak diberi zakat, sebab orang yang demikian tidak termasuk gharim/pailit.

* Jika ada seseorang yang mempunyai hutang dan berkata kepada si pemberi hutang (pemilik harta/piutang): “Berikanlah zakat anda kepadaku, lalu aku membayar hutangku kepadamu dengan zakat itu.” Kemudian pemilik harta itu melakukannya, maka sah-lah zakatnya walaupun penghutang tidak mesti menyerahkan kembali zakat itu untuk membayar hutangnya.

* Jika pemilik harta itu berkata: Aku akan ambil hartaku yang ada padamu lalu aku serahkan kembali kepadamu sebagai zakatku, maka sah-lah pembayaran hutang dengan cara ini, dan ia tidak wajib untuk menyerahkan kembali kepadanya. Namun, jika ia membayarkan zakat itu kepadanya dengan syarat ia menyerahkan kembali sebagai pembayaran hutangnya, maka tidak sah zakatnya dan tidak sah pula pembayaran hutangnya. Namun jika ia berniat tapi tidak mensyaratkannya maka boleh dan sah walaupun ia memiliki hutang.

* Jika pemilik harta berkata: “Aku kurangi hutangmu dengan menganggapnya sebagai zakatku kepadamu”, maka tidak sah zakatnya kecuali jika ia sudah menerima harta sebagai pembayaran hutang lalu ia berikan kembali kepada penghutang tersebut.” Ada pandapat, dan ini pendapat yang lemah, mengatakan sah zakat dengan cara demikian, sama seperti seseorang yang memiliki tabungan gandum yang dititipkan pada seorang fakir-miskin. Jika ia berkata kepada sang fakir-miskin itu: “Takarlah untuk dirimu sekian dan sekian sebagai pembayaran zakatku”, maka tentang sah-tidaknya ada dua pandangan ulama, diantaranya adalah pandangan yang menyatakan tidak boleh; pada hakikatnya, pemilik harta itu belum mewakilkan kepada sang fakir-miskin. Seandainya saja, sang fakir-miskin itu adalah wakil/mendapat amanah dari sang pemilik harta untuk membeli gandum, lalu ia pun membelinya, dan ia memegangnya, kemudian pemilik harta (yang menyuruh), berkata: “Ambillah untukmu sebagiannya sebagai zakatku untukmu, maka sah-lah zakatnya, dan tidak membutuhkan adanya perwalian/mewakilkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih semoga kritik dan sarannya