Kamis, 25 November 2010

PEDOMAN FILSAFAT HIDUP

FILSAFAT HIDUP RASULULLAH

Saudara-saudara pembaca catatan yang berbahagia. Marilah kita tingkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. Dengan pengertian taqwa yang sebenar-benarnya dan seluas-luasnya, yakni melaksanakan segala perintah Allah SWT, dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya.

Seorang muslim yang sejati adalah apabila ia telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai idola dalam hidupnya. Kita ikuti sikap dan tindak-tanduknya, demikian pula filsafat hidupnya harus diteladani.

Bagaimana filsafat hidup Rasulullah? Filsafat hidup adalah hal yang abstrak, yakni bagaimana seseorang memandang suatu persoalan hidup, cara memecahkan atau menyelesaikannya. Ada beberapa filsafat hidup yang dianut oleh manusia:

Pertama : Dalam hidup ini yang penting perut kenyang dan badan sehat.

Kedua : Dalam hidup ini mengikuti ke mana arah angin berhembus, angin berhembus ke Timur, ikut ke Timur, angin berhembus ke Barat, ikut ke Barat, suapaya selamat dan mendapatkan apa yang diinginkan.

Ketiga : Dalam hidup ini yang penting "GUE SENENG" masa bodoh dengan urusan orang lain.

Keempat : Dalam hidup ini harus baik di dunia dan baik di akhirat.

Sebagai muslim sudah selayaknya kita berfilsafat sebagaimana filsafat hidup Rasulullah SAW.

Filsafat hidup Rasulullah adalah sebagai berikut :

Pertama : Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat. "Wahai Rasulullah, bagaimana kriteria orang yang baik itu? Rasulullah menjawab:

Yang artinya: "Sebaik-baiknya manusia ialah orang yang bermanfaat bagi orang lain".

Jika ia seorang hartawan, hartanya tidak dinikmati sendiri, tapi dinikmati pula oleh tetangga, sanak famili dan juga didermakan untuk kepentingan masyarakat dan agama. Inilah ciri-ciri orang yang baik. Jika berilmu, ilmunya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Jika berpangkat, dijadikannya sebagai tempat bernaung orang-orang disekitarnya dan jika tanda tangannya berharga maka digunakan untuk kepentingan masyarakat dan agama, tidak hanya mementingkan diri dan golongannya sendiri.

Pokoknya segala kemampuan/potensi hidupnya dapat dinikmati orang lain, dengan kata lain orang baik adalah orang yang dapat memfungsikan dirinya ditengah-tengah masyarakat dan bermanfaat.

Sebaliknya kalau ada orang yang tidak bisa memberi manfaat untuk orang lain atau masyarakat sekitarnya bahkan segala kenikmatan hanya dinikmatinya sendiri, berarti orang itu jelek. Adanya orang seperti itu tidak merubah keadaan dan perginyapun tidak merugikan masyarakat.

Jadi filsafat hidup Rasulullah SAW menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi kita sebagai manusia untuk memegang filsafat hidup. Orang yang hanya menanam rumput untuk makanan ternak ia akan mendapatkan rumput tapi padinya tidak dapat, sebaliknya orang yang menanam padi, ia akan mendapatkan padi dan sekaligus mendapatkan rumput, karena rumput tanpa ditanam akan tumbuh sendiri. Begitu juga dengan kita yang hidup ini, kalau niat dan motivasinya sekedar mencari rumput (uang) iapun akan memperolehnya, tetapi tidak dapat padinya atau tidak akan memperoleh nilai ibadah dari seluruh pekerjaannya.

Oleh karena itu dalam menjalankan kehidupan, niatkan untuk ibadah dengan suatu keyakinan bahwa pekerjaan dan tempat kerja kita, kita yakini sebagai tempat mengabdi kepada Nusa, Bangsa dan Negara, dan sebagai upaya menghambakan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian maka setiap hendak berangkat ke tempat bekerja berniatlah beribadah, Insya Allah seluruh pekerjaan kita akan bernilai ibadah, dan mendapatkan pahala.

Alangkah ruginya orang yang hidup ini niatnya hanya mencari "rumput" walau hal itu penting, tetapi kalau niatnya hanya itu saja, orang tersebut termasuk orang yang rugi, karena ia tidak akan mendapatkan nilai ibadah dari pekerjaannya.

Yang namanya ibadah bukan hanya shalat, zakat, puasa atau membaca Al-Qur'an saja, tetapi bekerja, mengabdi kepada masyarakat, Negara dan Bangsa dengan niat Lillahi Ta'ala ataupun ibadah. Hal ini penting untuk diketahui, karena ada yang berfilsafat: Kalau ada duitnya baru mau kerja, kalau tidak ada duitnya malas bekerja.

Kedua : Rasul pernah ditanya, wahai Rasulullah! Orang yang paling baik itu yang bagaimana? Rasul menjawab :

Yang artinya : "Sebaik-baiknya diantara kamu ialah orang yang umurnya panjang dan banyak amal kebajikannya".

Sudah barang tentu orang yang semacamn ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya kalau ada orang yang amalnya baik tapi umurnya pendek masyarakat akan merasa kehilangan. Rasulullah juga mengatakan,"Seburuk-buruknya manusia yaitu mereka yang panjang umurnya tapi jelek perbuatannya".

Jadi sebenarnya kalau ada orang semacam itu mendingan umurnya pendek saja, supaya masyarakat sekitarnya tidak banyak menderita dan agar ia tidak terlalu berat tanggung jawabnya di hadapan Allah. Orang yang umurnya panjang dan banyak amal kebajikannya itulah orang yang baik.

Permasalahannya sekarang bagaimana agar kita mendapat umur yang panjang. Sementara orang ragu, bukankah Allah telah menentukan umur seseorang sebelum lahir? Pernyataan ini memang benar, tapi jangan lupa Allah adalah Maha Kuasa menentukan umur yang dikehendaki-Nya.

Adapun resep agar umur panjang sebagaimana resep Rasulullah :

Secara lahiriyah, kita semua sependapat untuk hidup sehat, harus hidup teratur, makan yang bergizi serta menjaga kondisi dengan berolahraga yang teratur.

Secara spiritual orang yang ini panjang umur ada dua resepnya:

Pertama : Suka bersedekah yakni melepaskan sebahagian hartanya di jalan Allah untuk kepentingan masyarakat, anak yatim, fakir miskin maupun untuk kepentingan agama. Dengan kata lain orang yang kikir atau bakhil sangat mungkin umurnya pendek.

Kedua : Suka silahturahmi, Silah berarti hubungan dan rahmi berati kasih sayang, jadi suka mengakrabkan hubungan kasih sayang dengan sesama, saling kunjung atau dengan saling kirim salam.

Sementara para ahli tafsir menyatakan sekalipun bukan umur itu yang bertambah misalnya 60 tahun, karena sering silahturahmi meningkat menjadi 62 tahun, banyak sedekahnya menjadi 65 tahun. Kalau bukan umurnya yang bertambah, setidak-tidaknya berkah umur itu yang bertambah. Umurnya tetap tapi kualitas dari umur itu yang bertambah.

Ketiga : Rasul pernah ditanya, orang yang paling beruntung itu yang bagaimana? Rasul Menjawab :

Yang artinya : "Barang siapa yang keadaannya hari ini kualitas hidupnya lebih baik dari hari kemarin maka dia adalah orang beruntung".

Kalau kita bandingkan dengan tahun kemarin, ilmu dan ibadahnya, dedikasinya, etos kerja, disiplin kerja meningkat, dan akhlaknya semakin baik, orang tersebut adalah orang yang beruntung. Dengan kata lain filsafat hidup Rasulullah yang ketiga adalah "Tiada hari tanpa peningkatan kualitas hidup".

Pernyataan Rasul yang kedua :

Yang artinya: "Barangsiapa keadaan hidupnya pada hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang rugi".

Jika amalnya, akhlaknya, ibadahnya, kedisplinannya dan dedikasinya tidak naik dan juga tidak turun maka orang tersebut termasuk orang yang merugi.

Sementara orang bertanya: Kenapa dikatakan rugi padahal segala-galanya tidak merosot? Bagaimana dikatakan tidak rugi, mata sudah bertambah kabur, uban sudah bertabu, giginya sudah pada gugur dan sudah lebih dekat dengan kubur, amalnya tidak juga bertambah, kualitas hidup tidak bertambah maka ia adalah rugi. Dan Rasul mengatakan selanjutnya :

Yang artinya : "Barangsiapa keadaan hidupnya pada hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka orang semacam itu dilaknat oleh Allah".

Oleh karena itu pilihan kita tidak ada lain kecuali yang pertama, yakni tidak ada hari tanpa peningkatan kualitas hidup. Sebagai umat Islam, kedispilinan, dedikasi, kepandaian, kecerdasan, keterampilan harus kita tingkatkan, agar kita termasuk orang yang beruntung.

Keempat : Rasul pernah ditanya : "Wahai Rasulullah! Suami dan isteri yang paling baik itu bagaimana? Rasul menjawab : "Suami yang paling baik adalah suami yang sikap dan ucapannya selalu lembut terhadap isterinya, tidak pernah bicara kasar, tidak pernah bersikap kasar, tidak pernah menyakiti perasaan isterinya, tetap menghormati dan menghargai isterinya.

Sebab ada sikap seorang suami yang suka mengungkit-ungkit segala kekurangan isterinya, sehingga dapat menyinggung perasaannya, yang demikian termasuk suami yang tidak baik biarpun keren dan uangnya banyak. Hakekatnya suami yang tidak baik yaitu suami yang kasar terhadap isterinya. Dan seorang laki-laki yang mulia ialah yang bisa memuliakan kaum wanita, tidak suka menyepelekan. Sampai-sampai Rasul masih membela kepada kaum wanita beberapa saat sebelum Beliau wafat. Beliau sempat berpesan: "Aku titipkan nasib kaum wanita kepadamu". Diulangnya tiga kali. Karena kaum wanita kedudukannya serba lemah. Jadi kalau seoarang suami memiliki akhlak yang tidak baik maka penderitaan sang isteri luar biasa. Hal ini perlu kita ingat karena segala sukses yang dicapai oleh sang suami pada hakekatnya adalah karena andil sang isteri. Demikian juga andil isteri yang membantu mencarikan nafkah.

Kelima : Rasul pernah ditanya, "Wahai Rasulullah! Orang yang benar itu yang bagaimana? Rasul menjawab,"Apabila dia berbuat salah segera bertaubat, kembali kepada jalan yang benar. Oleh karena itu para filosof mengatakan, "Orang yang benar adalah bukan orang yang tak pernah melakukan kesalahan, tapi orang yang benar adalah mereka yang sanggup mengendalikan diri dari perbuatan yang terlarang dan bila terlanjur melakukannya, ia memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan yang salah itu. Ibarat anak sekolah mengerjakan soal, kalau salah tidak jadi masalah, asal setelah dikoreksi tidak mengulangi kesalahannya. Sampai-sampai ada ungkapan yang tidak enak didengar tapi benar menurut tuntunan Islam, yaitu: Bekas maling itu lebih baik dari pada bekas santri. Kita tahu bahwa santri adalah orang yang taat beragama, sedangkan maling penjahat, pemerkosa, dan sebagainya tapi setelah bertaubat menjadi orang yang baik, kembali ke jalan yang benar. Orang yang demikian matinya menjadi khusnul khotimah. Memang yang ideal, orang yang baik itu dari muda sampai tua baik terus, tapi hal itu jarang.

Kesalahan yang sudah terlanjur, selama masih mau bertaubat tidak jadi masalah. Oleh karena itu, segala hukuman, seperti hukuman administrasi dalam kepegawaian, selalu didasarkan atas beberapa pertimbangan. Apakah kesalahannya tidak bisa ditolerir, apakah orang tersebut perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya atau tidak. Apakah kesalahannya terpaksa atau karena kebodohannya? Maka berbagai pertimbangan perlu dilakukan sehingga ada kesempatan bagi orang tersebut untuk memperbaiki kesalahannya, agar dia bisa kembali menjadi orang yang baik. Nabi Muhammad SAW bersabda :

Yang artinya: "Walaupun engkau pernah melakukan kesalahan sehingga langit ini penuh dengan dosamu, asal saja kamu bertaubat, pasti akan terima oleh Allah".



Keenam : Suka memberi. Sabda Nabi :

Yang artinya : "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah".

Orang yang suka memberi, martabatnya lebih terhormat daripada orang yang suka menerima. Allah berfirman :

Yang artinya : "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir, seratus biji. Allah melipat-gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 261)

Tidak ada orang yang suka sedekah, kemudian jatuh miskin. Umumnya yang jatuh miskin karena suka judi, togel, dan minuman keras. Dan resep kaya menurut Islam adalah kerja keras, hidup hemat, dan suka sedekah.

Ketujuh : Rasul pernah ditanya oleh para sahabat : "Wahai Rasul! Si pulan itu orang yang luar biasa hebatnya. Dia selalu berada dalam masjid, siang malam melakukan shalat, puasa, I'tikaf, berdo'a. Kemudian Rasul bertanya kepada para sahabat, "Apakah orang itu punya keluarga?" Sahabat menjawab, "Punya Ya Rasul". Kata Rasul : "Orang tersebut adalah orang yang tidak baik!. Saya ini suka ibadah tapi disamping itu sebagai seorang suami, berusaha mencari nafkah. Sampai Rasul menyatakan : " Tergolong tidak baik orang yang hanya mementingkan urusan ukhrawi tetapi melalaikan urusan dunia".

Juga tidak benar orang yang hanya mementingkan urusan duniawi tapi melalaikan urusan ukhrawi. Yang paling baik adalah seimbang antara kepentingan duniawi dengan kepentingan ukhrowi dan tidak berat sebelah.

KEBAHAGIAAN HIDUP menurut ISLAM

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat NabiSAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana iapernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun IbnuAbbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari iaditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenaiapa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh)indikator kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.

Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehinggatidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yangselalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahamisifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesonadengan pemberian dan keputusan Allah. Bila sedang kesulitan maka ia segera ingatsabda Rasulullah SAW yaitu : “Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yanglebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur denganmemperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahanyang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allahakan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialahorang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.

Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yangsholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan dimintapertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan.Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pastiakan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh.Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasanyang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuansuaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istriyang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.

Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak mudayang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanyakepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “YaRasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Sayasangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibusaya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itusisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” YaRasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepadaorang tua ?” Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “SungguhAllah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakkuketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadisttersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukupuntuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisamemulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepadaorang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anakyang sholeh.

Keempat, albi'atu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.

Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenalsiapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslahorang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuahhaditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orangyang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan danmengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholeh adalah orang-orangyang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar padacahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orangyang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi olehorang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.

Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya.Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat ImamMuslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorangsahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW,“Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secaraharam, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanyahalal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akanmenjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh,sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yangselalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.

Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agamaIslam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauhlagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. Allah menjanjikan nikmatbagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepadaagamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yangakan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng ”hidup” kanhatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islamdan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmuagama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.

Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiapdetiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untukkebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia(berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya(post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranyamenikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatandunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmatikenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya denganbanyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tuasemakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi denganbermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkandunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupanberikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orangyang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.

Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikatorkebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri,maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin membacadoa ‘sapu jagat’ , yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW.Dimana baris pertama doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw” (yangartinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia ”), mempunyai makna bahwakita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yangdisebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yangsoleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yanghalal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.

Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggamankita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kitasyukuri.

Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil aakhiratihasanaw” (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnyahanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmatAllah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah,kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dansholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal solehsesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengannikmat surga yang dijanjikan Allah.

Kata Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalianke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau yaRasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidakcukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apakita masuk surga?”. Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surgahanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.

Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuksurga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kitamendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).

Jumat, 29 Oktober 2010

Semangat Berkorban

”Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus”. (QS.Al-Kautsar:1-3

Di dalam Surat Al Kautsar sungguh memberi kabar gembira kepada umat akhir zaman. Betapa Allah SWT yang Maha Rahman telah memuliakan junjunan alam Muhammad saw dengan berbagai karunia ”al kautsar”. Yaitu: al khairul katsir (kebaikan yang banyak), di dunia ini diantaranya: al Islam, al Quran, kasratu ummah, al itsar, dan ”rif’atul dzikri”, kemudian telaga al Kautsar di akhirat kelak. Itu semua sudah Allah karuniakan kepada nabi kita Muhammad saw. Sedang bagi kita selaku ummat beliau, semua itu merupakan ”busyra” kabar gembira, bahwa jika kita memenuhi syaratNya maka semua karunia itu pun disediakan bagi kita. Syaratnya hanya dua saja, yaitu menunaikan shalat karena ”tha’atan wa taqarruban”, dan menyembelih binatang nahar karena ”syukran” atas nikmat Allah yang tak terhitung satuan maupun jumlahnya.
Tetapi sebaliknya, apabila jalan shalat dan pengorbanan itu tidak ditempuh, karena memperturutkan kemalasan dan kebakhilan, maka Allah tegaskan اِنَّا شَانِئَكَ هُوَ الاَبْتَرَ Artinya apa, dikarenakan keengganan mengikuti sunnah Rasulullah saw berupa penunaian shalat dan kurban, maka ”al abtar” terputusna aliran rahmat Allah SWT telah menjadi ketetapan. Suatu gambaran masa depan yang suram, sebab tanpa rahmat Allah maka kegelapan lahir batin telah menanti. Kegelapan individual kemudian kegelapan sosial menjadi tak dapat dihindari.

Bahwa di antara makna ”al kautsar/karunia yang banyak” itu adalah رِفْأََةُ ذِكْرِ kedudukan yang tinggi dan sanjungan yang luhur. Itu merupakan ketetapan yang memang wajar dan logis. Betapa tidak sebab rasa syukur dan pengorbanan itu berada pada anak tangga yang luhur.
- Paling rendah adalah posisi MENGORBANKAN sesama, berarti posisi KEZHALIMAN yang mengantarkan kepada ’ZHULUMAT” kegelapan dunia akhirat, dimana aliran NUR ILAHI dan rahmatNya terputus.
- Posisi di atasnya adalah MEMBIARKAN (EGP) ”Al khudzlan” yang juga dilarang oleh Rasulullah saw. Sikap abai membiarkan sehingga orang lain celaka, meskipun bersifat pasif tapi sesungguhnya termasuk kejahatan kepada sesama.
- Di atasnya posisi INSHAF (fairness/adil). Yaitu berbuat sewajarnya, sebatas menunaikan atau menggugurkan kewajiban agar terhindar dari kezhaliman. Boleh jadi meski positif tapi tidak dikedepankan dengan sepenuh hati.
- Posisi tertinggi adalah TADLHIYAH/BERKORBAN untuk kebaikan sesama atau orang banyak. Tentu saja dasarnya kerelaan yang bukan setengah hati, dan merupakan bentuk keihsanan yang merupakan kelanjutan dari taqwa” ثُمَّ تَّقَوْ وَاَحْسَنْ ”kemudian mereka bertaqwa dan berbuat ihsan. dan ”WALLAHU YUHIBBUL MUHSININ”. (Al Maidah, 93). Maka hanya cinta Allah yang akan diberikan kepada mereka yang berkorban dan berbuat ihsan.

Binatang kurban yang disebut UDLHIYAH adalah simbolisasi TADLHIYAH yakni pengorbanan. Baik udlhiyah maupun tadlhiyah posisinya sama sebagai ‘ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah (taqarruban wa qurbanan). Jika menyembelih binatang kurban merupakan ‘ibadah material yang ritual, maka pengorbanan di jalan Allah merupakan ‘ibadah keadaban yang memajukan sektor-sektor kehidupan yang lebih luas. Tidak ada ruginya orang yang berudlhiyah dan bertadlhiyah, karena sesungguhnya termasuk dalam kerangka MULTI QURBAN/pendekatan diri dan MULTI INVESTASI.
- TADLHIYAH/BERKORBAN merupakan multi pendekatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam ikrar seorang muslim yang bertaqarrub kepada Rabbnya melalui shalat : INNA SHALATI WA NUSUKI WA MAHYAYA WA MAMATI LILLAHOI RABBIL ‘ALAMIN LA SYARIKA LAH.
Kita diperintahkan untuk bertaqarrub kepada Maha Pencipta dengan shalat serta ‘ubudiah yang lain, dan bertaqarrub kepada Allah dalam segala aktivitas hidup ini.

TADLHIYAH/BERKORBAN bermakna multi investasi:
- Merupakan investasi sosial (social investment) karena jelas, pengorbanan baik material maupun moral memberikan dampak sosial yang positif. Dalam Al Quran Surah Annisa ayat 114 disebutkan: Bahwa tidak ada kebaikan dalam pembicaraan atau wacana yang diadakan, kecuali untuk mengajak orang bersedekah, memerintahkan yang ma’ruf, atau untuk mendamaikan sengketa di antara masyarakat. Dan barangsiapa melakukan itu karena ridha Allah niscaya berbalas pahala yang besar.
- Bertadlhiah meruapakan investasi ekonomi (economic investment). Sebagaimana dinyatakan dalam QS al Lail, ayat 5- 10: “Barangsiapa memberi dan bertaqwa serta membenarkan balasan yang sebaik-baiknya, maka niscaya Kami beri kemudahan demi kemudahan. Dan barangsiapa yang kikir dan merasa tidak memerlukan orang lain serta mendustakan pahala yang lebih baik, maka niscaya Kami bukakan baginya pintu kesulitan”.
- Bertadlhiah juga merupakan bentuk investasi moral, yang mampu mengikis kekikiran ” Syuhh”. Sifat kikir yang sangat berbahaya, sebagaimana diperingatkan dalam sabda Rasulullah saw:
Artinya: ”Hati-hati dengan sifat kikir. Sebab sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian diakibatkan kekikiran, sifat kikir telah mendorong mereka untuk berlaku pelit, lalu mendorong mereka untuk memutus silaturahim dan akhirnya telah mendorong mereka melakukan kejahatan”.
- Dan terakhir, pengorbanan di jalan Allah tentu saja sebagai investasi ukhrawi. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits bahwa ’ibadah orang yang menyembelih binatang kurban sudah diterima Allah sebelum darahnya menetes ke tanah, dan merupakan seutama-utama ’ibadah pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Kamis, 21 Oktober 2010

7 etika menjenguk orang sakit

Menjenguk orang sakit amat dianjurkan dalam ajaran Islam. Karena amalan ini disamping bernilai ibadah, juga memberikan dampak positif tak hanya kepada si sakit, si penjenguk pun memperoleh manfaat darinya. Akan tetapi itu bisa diperoleh maksimal jika diiringi dengan amalan-amalan lainya.

Diriwayatkan di dalam hadits sahih muttafaq 'alaih dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Hak orang muslim atas orang muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantarkan jenazahnya, mendatangi undangannya, dan mendoakannya ketika bersin."

Dalam Ktab Nailul-Authar, yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw. tentang 'hak orang muslim' ialah tidak layak ditinggalkan dan melaksanakannya ada kalanya hukumnya wajib atau sunnah muakkad yang menyerupai wajib. Sedangkan menggunakan perkataan tersebut --yakni haq (hak)—dengan kedua arti di atas termasuk bab menggunakan lafal musytarik dalam kedua maknanya, karena lafal al-haq itu dapat dipergunakan dengan arti 'wajib', dan dapat juga dipergunakan engan arti 'tetap,' 'lazim,' 'benar,' dan sebagainya."

Begitu mulianya amalan menjenguk orang sakit, sampai-sampai Rasulullah bersabda. "Sesungguhnya apabila seorang muslim menjenguk orang muslim lainnya, maka ia berada di dalam khurfatul jannah."

Dalam riwayat lain para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw.: "Wahai Rasulullah, apakah khurfatul jannah itu?" Beliau menjawab, "Yaitu taman buah surga."

oleh karena itu ada beberapa etika yang harus diperhatikan ketika menjenguk orang sakit

1. Bertanya tentang Kondisi Si Sakit kepada Keluarganya

Tentu, ketika seseorang menjenguk si sakit, maka ia juga bertemu juga dengan keluarganya. Hendaknya penjenguk menanyakan kondisi si sakit kepada mereka terlebih dahulu. Karena mereka juga memahami benar kondisi kesehatan si sakit.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa suatu saat Ali bin Abu Thalib pergi, setelah ia berada bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (SAW) di saat beliau menderita sakit, yang menyebabkan wafatnya beliau. Orang-orang mengatakan,”Wahai Abu Hasan (julukan Ali bin Abi Thalib), bagaimana keadaan Rasulullah (SAW)?” Ia menjawab,”Pagi ini alhamdulillah, beliau sembuh.” (Riwayat Bukhari).

2. Bertanya kepada Si Sakit tentang Kondisinya

Walau sudah mengetahui keadaan si sakit lewat keluarganya, perlu juga bertanya kepada si sakit, disamping untuk memperoleh informasi tambahan, bertanya kepadanya bisa meringankan, karena ia merasa ada yang memperhatikan kondisinya.

Rasulullah (SAW) bersabda,”Kesempurnaan menjenguk orang sakit...hendaknya salah satu diantara kalian meletakkan tangannya di atas kening si sakit atau tangannya dan mengatakan kepadanya, bagaimana keadaannya.” (Riwayat Tirmidzi).


3. Mendoakan si Sakit

Dari Sa’ad bin Abi Waqash Radhiyallahu ‘anhu (RA) ia berkata,”Rasulullah (SAW) menjenguk saya ketika saya sakit dan mengatakan,”Allahumma isyfi Sa’dan, allahumma isyfi Sa’dan, allahumma isyfi Sa’dan.” (Riwayat Muslim).
Doa itu bermakna, ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad. Selain doa ini, ada pula beberapa doa yang lainnya.

4. Berpesan kepada Keluarga Si Sakit agar Melayaninya dengan Baik

Sesungguhnya seorang perempuan dari Juhainah mendatangi Rasulullah (SAW) dalam keadaan hamil karena perzinaan lalu ia mengatakan,”Wahai Rasulullah, saya telah terkena hadd, maka lakukanlah itu kepada saya.” Maka Rasulullah (SAW) mendatangi walinya dan berpesan,”Perlakukanlah ia dengan baik...” (Riwayat Muslim).

sebagian ulama menyamakan kondisi hamil dengan sakit. Sehingga Imam Nawawi menjadikan hadits ini sebagai dalil atas dianjurkannya berpesan kepada keluarga agar memperlakukan si sakit dengan baik.

5. Menghibur Si Sakit

Agar si sakit merasa tenang, dianjurkan juga penjenguk menghiburnya. Rasulullah (SAW) bersabda,”Jika kalian mengunjungi orang sakit...hilangkan kekhawatirannya mengenai ajal, itu tidak bisa menolak apapun, akan tetapi bisa menghibur dirinya.” (Riwayat Tirmidzi).

Ibnu Alan menjelaskan, bahwa menghibur si sakit bisa menggunakan ungkapan, Allah akan memperpanjang umurmu atau Allah akan menyembuhkanmu.

6. Menyebut Kebaikan Si Sakit

Menyebut kebaikan si mayit, bisa membesarkan hatinya, terutama dalam menghadapi situasi yang membuat si sakit khawatir. Ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim.

Dari Ibnu Syumamah, ia berkata,”Kami menghadiri Amru bin Ash (RA) dan beliau telah mendekati ajal. Beliau menangis lama, kemudian memalingkan wajahnya ke dinding, hingga putra beliau mengatakan,”wahai ayah, bukankah Rasulullah telah memberi kabar gembira kepadamu dengan begini?” Bukankah Rasulullah telah memberi kabar gembira kepadamu dengan begini?” Bukankah Rasulullah telah memberi kabar gembira kepadamu dengan begini?” (Riwayat Muslim).

7. Meminta Doa kepada Si Sakit

Menjenguk si sakit memberi manfaat juga kepada si penjenguk, karena doa si sakit lebih mudah terkabul. Sehingga dianjurkan agar penjenguk meminta doa kepada si sakit. Rasulullah (SAW) bersabda,”Jika kalian mengunjugi orang sakit...maka mintalah agar ia mendoakanmu. Sesungguhnya doanya seperti doa para malaikat.” (Riwayat Ibnu Majah). [tho/www.hidayatullah.com]

Kamis, 30 September 2010

Berlaku Ihsan kepada ORANG TUA (BIRRUL WAALIDAIN)

MAKNA "AL BIRR"
Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam (artinya) : "Al Birr adalah baiknya akhlaq". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794).

Al Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al ‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq..

"Al Birr adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al ‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya." (Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)

Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan." (QS. Al Isra’ : 24). Yaitu: "Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun". (Ad Darul Mantsur 5/259)

Berkata Imam Al Qurtubi mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan). (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238).

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mudah-mudahan Allah merahmatinya: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir "Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali". (Ghadzaul Al Baab 1/382).



HUKUM BIRRUL WALIDAIN Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.

Berkata Ibnu Hazm, mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Berkat beliau dalam kitab Al Adabul Kubra: Berkata Al Qodli Iyyad: "Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram." (Ghdzaul Al Baab 1/382)

Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) yang mereka gunakan banyak sekali , diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak". (An Nisa’ : 36).

Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).

2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (QS. Al Isra’: 23).

Adapun makna ( qadhoo ) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: "Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218).

3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman : 14).


Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua "Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) : "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu", Berkata beliau. "Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu." (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).


Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda (artinya) : "Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua" (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).

4. Hadits Al Mughirah bin Syu’bah - mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda (artinya): "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757).



KEUTAMAAN BIRRUL WALIDAIN Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: "Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam "Berbuat baik kepada kedua orang tua". Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Berjihad di jalan Allah". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).


Kedua : Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….", hingga akhir ayat berikutnya : "Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka." (QS. Al Ahqaf 15-16)


Diriwayatkan oleh ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Apakah Ibumu masih hidup?", berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Kalau bibimu masih ada?", dia berkata : "Ya" . Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Berbuat baiklah padanya". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406).


Ketiga : Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Celakalah dia, celakalah dia", Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).


Dari Mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata : "Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Apakah kamu masih memiliki Ibu?". Berkata dia : "Ya". Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya". (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)


Keempat : Merupakan Sebab keridhoan Allah Sebagaiman hadits yang terdahulu "Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua".


Kelima : Merupakan Sebab Bertambahnya Umur Diantarnya hadit yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim".


Keenam : Merupakan Sebab Barokahnya Rizki Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya. Wallahu a’lam

Senin, 27 September 2010

KEUNTUNGAN MEMBACA KITABULLOH (AL-QURAN)

"Artinya : Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran," [Shad : 29]

sabda beliau:
خَيْرُ كُمْ مَنْ تَتَعَلَّمَ القُرْآنُ وَعَلَّمَهُ
"Artinya : Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur 'an dan mengajarkannya.".

Keuntungan Membaca Kitabulloh (Al-Quran)

1. Di dalam tilawah al-Qur’an tersebut terdapat pahala yang besar,
sabda beliau :
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرٍ اََمْثَالِهَا. لاَاَقُوْلُ آلـمّ حَرْفٌ، وَلَكِنْ اَلِفُ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِمٌ حَرْفٌ
"Artinya : Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah, maka dia akan mendapatkan satu kebaikan sedangkan satu kebaikan itu (bernilai) sepuluh kali lipatnya, aku tidak mengatakan 'Alif Laam Miim ' sebagai satu huruf, akan tetapi 'Alif sebagai satu huruf, 'Laam ' sebagai satu huruf dan 'miim ' sebagai satu huruf."[3]

2. Dalam kehidupan dunia ia akan mendapat keuntungan antara lain:

Orang yang selalu membaca al-quran akan mendapatkan keuntungan lain diantaranya sebagaimana digambarkan dalam quran [Fathir :29-30]

1. Perniagaan yang tak merugi
2. Allah menyempurnakan untuk manusia pahala mereka
3. Alloh akan menambahkan kepada mereka dari karuniaNya.

Dan firmanNya,
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." [Fathir :29-30]

3. al-Qur’an tersebut sebagai penolong

اِقْرَأُ القُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيْعًا بِتِلاَوَتِهِ

"Artinya : Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai penolong bagi orang-orang yang membacanya."

Senin, 20 September 2010

Sebab dilapangkan Rizki

1. Menjaga diri di atas ketakwaan

Pengertian takwa adalah mengerjakan segala perintah Allah sesuai dengan yang diperintahkan dengan mengharap pahala, serta menjauhi larangan Allah yang telah ditentukan karena takut akan adzab-Nya. Karena dengan ketakwaan inilah seseorang akan dijamin riskinya oleh Allah.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath Thalaaq : 2-3)
Sebagian ulama mengatakan bahwa dengan ketakwaan seseorang tidak akan menjadi faqir. Karena Allah akan memberinya kecukupan baik dari sisi dhahir ataupun kecukupan yang lebih besar dari sisi bathin tatkala seseorang bertakwa dengan sebenar-benar ketakwaan. Inilah hakikat dari makna kecukupan, yaitu seseorang akan merasa tenang dengan yang sedikit dan merasa lebih dengan apa yang dianggap kurang oleh manusia.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tapi kekayaan adalah yang ada di hati”
(HR. Bukhari Muslim)

2. Bertawakal kepada Allah

Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda, “Andaikata kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, sungguh kalian akan Kami beri rizki sebagaimana burung diberi rizky. Di pagi hari keluar dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad)

Untukmencapai tawakal maka ada 3 Rukun yang harus terwujud secara nyata :
a. Menyerahkan urusannya kepada Allah
b. Menjalani sebab-sebab untuk mencapai tujuan tersebut
c. Meyakini apabila kenikmatan tersebut datang semuanya adalah semata dari Allah

Sebagai Contoh: Seseorang yang sakit menyerahkan urusan sakitnya kepada Allah, akan tetapi dia tetap berobat, berusaha menyembuhkan penyakitnya. Akan tetapi setelah sembuh dia harus mengatakan bahwa kesembuhannya merupakan karunia dari Allah.
Rasulullah memberikan contoh tawakal dengan burung, karena burung tersebut tidak memiliki simpanan makanan. Akan tetapi walaupun dengan kondisi yang demikian, dia di pagi hari keluar mencari riski dalam keadaan perut kosong dan di sore harinya sudah kenyang. Dan burung tersebut tidak hanya berdiam diri di sarangnya, akan tetapi terbang keluar mencari rizky.

3. Mensibukkan diri dengan ibadah

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah mengabarkan bahwa Allah berfirman dalam hadits Qudsi, “Wahai Hamba-hambaku, hendaknya kalian memenuhi waktu (konsentrasi) dengan ibadah, kalau kalian melakukannya Aku akan memenuhi dada kalian dengan kekayaan, dan Aku akan menutupi kefakiran kalian. Kalau kalian tidak melakukannya, Aku akan memenuhi dada kalian dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutup kefakiran kalian.”

Maka hendaknya seorang hamba menyibukkan dirinya dengan ibadah dan tetap berusaha mencari rizkinya. Karena dengan berkonsentrasi terhadap ibadah inilah yang akan mempermudah seseorang dalam mencari dan mendapatkan rizqy.

4. Mensyukuri nikmat-Nya

Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim : 7)

Untukmencapai kenikmatan maka ada 3 Rukun yang mesti diwujudkan :
a.Memuji Allah dengan lisannya
b.Mengakui dalam hati bahwa semua nikmat tersebut datang dari-Nya. Apapun kenikmatan yang datang kepada kalian maka itu datangnya dari Allah (An-Nisaa : 79)
c.Menggunakan kenikmatan tersebut dalam ketaatan

5. Berinfaq dengan pemberian dari Allah

Allah berfirman dalam hadits Qudsi, “Wahai anak adam berinfaklah, maka aku akan berinfaq kepadamu”

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada satu haripun yang berlalu kecuali ada dua malaikat yang turun, satu malaikat berkata, Ya Allah, berilah kepada orang yang berinfak di hari ini ganti untuknya. Dan malaikat yang lainnya berkata, Ya Allah berikanlah kerugian kepada orang yang tidak berinfak di hari ini.” (HR. Bukhari Muslim)

Oleh karena jika kita tidak menginginkan suatu kergian di hari-hari yang kita lalui ini, maka hendaklah berinfaklah sekemampuan kita, sehingga kita selalu di do’a oleh malaikat mendapatkan ganti dari semua ayang kita infakkan.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya shodaqoh itu tidak pernah mengurangi harta.” (HR. Bukhari Muslim)

Alloh Berfirman:
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (Saba’ : 39)

3 YANG DIRIDHAI 3 YANG DIBENCI ALLAH

إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا: فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا، وَأَنْ تَنَاصَحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ، - وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا - قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَال

"Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga perkara dan benci untuk kalian tiga perkara: (1). Allah ridha untuk kalian agar kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. (2). Agar kalian seluruhnya berpegang teguh dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah. (3). Hendaklah kalian saling memberikan nasehat kepada orang-orang yang mengurusi urusan kalian (yakni penguasa kaum muslimin). -Dan Allah benci untuk kalian tiga perkara- : (1). Qiila wa Qaal (dikatakan dan katanya), (2). banyak meminta dan bertanya, dan (3). menyia-nyiakan harta." (HR. Muslim dalam Shahiih-nya Kitaabul Aqdhiyaa` Baab An-Nahyu 'an Katsratil Masaa`il no.1715, Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` Kitaabul Kalaam Baab Maa Jaa`a fii Idhaa'atil Maal no.20, dan Al-Imam Ahmad 2/367)

Penjelasan Kosakata Hadits tsb:

- Ridha dan benci adalah dua sifat yang layak untuk Allah sesuai dengan keagungan-Nya, yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Inilah salah satu aqidah ahlus sunnah wal jama'ah. Mereka mengimani dan ...menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah sebagaimana yang Dia tetapkan dalam kitab-Nya dan yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapkan dalam sunnahnya. Tanpa tahriif (mengganti lafazh maupun maknanya dengan makna yang bathil), ta'thiil (menolak sebagian atau seluruh sifat-sifat Allah), takyiif (menanyakan bagaimana hakikatnya), dan tanpa tamtsiil (menyerupakan atau menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya).

- Ibadah, secara bahasa artinya ketundukan dan merendahkan diri yang disertai dengan rasa cinta. Adapun secara istilah adalah suatu nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah berupa perkataan dan amalan baik yang zhahir maupun yang bathin. Maka seluruh yang Allah perintahkan baik yang wajib maupun yang sunnah, maka itu adalah ibadah. Sedangkan menyerahkannya kepada selain-Nya adalah kesyirikan.

- Kesyirikan adalah menjadikan tandingan untuk Allah pada sesuatu dari perkara ibadah, di mana seorang hamba menyerahkan salah satu dari jenis ibadah kepada selain Allah. Maka setiap keyakinan, ucapan atau amalan yang telah tetap bahwasanya hal itu diperintahkan oleh syari'at maka menyerahkannya hanya untuk Allah semata merupakan tauhid, keimanan dan keikhlasan. Sedangkan menyerahkannya kepada selain-Nya adalah kesyirikan.

- Berpegang teguh dengan tali Allah artinya berpegang teguh dengan apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah berupa Al-Kitab (Al-Qur`an) dan As-Sunnah. Tentunya dengan pemahaman salafush shalih, generasi awal ummat Islam dari kalangan shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

- Qiila wa Qaal artinya pembicaraan dalam perkara yang bathil dan yang tidak bermanfaat.

- Banyak meminta dan bertanya artinya memperbanyak pertanyaan dan permintaan kepada manusia dan membahas pertanyaan dan permasalahan yang belum terjadi.

- Menyia-nyiakan harta artinya membiarkannya tanpa dipergunakan dan menelantarkannya, menyalahgunakannya dan melalaikannya, serta menyengajanya untuk dibuang, serta dipake maksiat.

Sabtu, 11 September 2010

Kegagalan Latihan Ramadhan

Di bulan Ramadhan, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka lebar-lebar. Namun banyak orang gagal mendapatkan kemuliaannya. Di bawah ini beberapa tanda gagalnya Ramadhan :
1. Kurang melakukan persiapan di bulan Syaban.
2. Gampang mengulur shalat fardhu.
3. Malas menjalankan ibadah-ibadah sunnah.
4. Kikir dan rakus pada harta benda.
5. Malas membaca Al-Qur?an.
6. Mudah mengumbar amarah.
7. Gemar bicara sia-sia dan dusta.
8. Memutuskan tali silaturrahim.
9. Menyia-nyiakan waktu.
10. Labil dalam menjalani hidup.
11. Tidak bersemangat mensyiarkan Islam.
12. Khianat terhadap amanah.
13. Rendah motivasi hidup berjama?ah.
14. Tinggi ketergantungannya pada makhluk.
15. Malas membela dan menegakkan kebenaran.
16. Tidak mencintai kaum dhuafa.
17. Salah dalam memaknai akhir Ramadhan.
18. Sibuk mempersiapkan Lebaran.
19. Idul Fitri dianggap hari kebebasan.

Dan masjid pun kembali sepi
Betapa kita baru menyadari ada sesuatu yang sangat berharga setelah segalanya berlalu meninggalkan kita. Hingga kita merasa kehilangan bahkan menyesali karena kesempatan itu tak kita manfaatkan secara maksimal saat masih di depan mata dan dirasakan kehadirannya. Giatnya kita beribadah dan berlomba menabung amal shalih saat Ramadhan menjadi bukti bahwa Ramadhan adalah magnet yang bisa menyatukan kita. Bersama dan bersatu dalam nikmatnya Ramadhan yang terasa di mana-mana. Masjid berjubel dipenuhi jamaah yang ingin meraih pahala shalat tarawih bersama, atau menikmati ayat demi ayat dari al-Quran yang dibacanya di masjid di sepanjang waktu. Hampir setiap hari, terutama di awal-awal Ramadhan. Alhamdulillah.
Kini, Ramadhan sudah meninggalkan kita. Kegembiraan menyambut Idul Fitri di gerbang Syawal, sejenak melupakan padat-padatnya beribadah saat Ramadhan. Nikmatnya Ramadhan, tergantikan dengan bahagianya menyambut hari kemenangan. Sehingga, ada di antara kita yang kemudian lupa, bahwa sebenarnya ia tengah meninggalkan bulan yang nikmatnya sepanjang hari sepanjang malam, yang berkah, rahmat dan ampunan dari Allah Swt. bertaburan sebulan penuh.
Kini, kita kehilangan semua suasana indah Ramadhan, saat di mana banyak orang mengejar amal shalih dan beribadah dengan sangat tamaknya. Seolah merasa wajib meninggalkan nikmatnya dunia dan fokus dengan ibadah untuk mendekatkan diri kepadaNya. Tak ada lagi suara berisik belasan ABG yang kadang dengan nakalnya membangunkan seisi pemukiman penduduk pada dini hari dengan suara-suara teriakan dan tetabuhan dari benda-benda seadanya. Masjid pun begitu makmur dengan padatnya kegiatan ibadah baik di siang hari maupun malamnya. Tarawih berjamaah, tadarus al-Quran, i?tikaf, dan kegiatan menemani warga yang sedang sahur dengan lantunan ayat suci al-Quran atau puji-pujian kepada Allah Ta?ala. Indah, nikmat, sejuk, serta damai.
Dan, sekarang tinggal kenangan saja. Kita kembali kepada rutinitas awal, sibuk dengan pekerjaan kita, urusan kehidupan kita, dan kita kembali meninggalkan masjid. Hingga masjid pun kembali sepi.

Naudzubillahimin dzalik

Saum Syawal, Puasa “Setahun Penuh”

Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).

Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:
"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.")

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِمَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya :
1. Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah.

Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.
Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.

Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.

Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar:
"Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.”

Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan : Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhush Sholihin, 3/466)
Tunaikan yang Wajib dahulu, baru Sunnah
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan : Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ (mengganti) puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini.

Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah
Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)
Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Kamis, 02 September 2010

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Ibnu Sabil

Definisi

Ibnu Sabil
Yang dimaksud dengan Ibnu Sabil, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat zakat, adalah musafir (orang yang bepergian jauh). Dan seseorang disebut ibnu sabil adalah karena sepanjang waktunya digunakan diperjalanan. Syarat seorang ibnu sabil bisa mendapat zakat adalah jika safarnya bukan maksiat. Maka seorang ibnu sabil yang musafir untuk ketaatan kepada Allah, maka ia berhak mendapat zakat, demikian juga safar yang mubah (bukan ibadah dan bukan maksiat), semisal orang yang mencari orang hilang/tersesat.

Syarat berikutnya adalah ia tidak memiliki harta apapun untuk bisa menyampaikannya ke tempat tujuan. Maka, orang yang tidak punya apa-apa, sama sekali, berhak mendapatkan zakat, demikian juga orang yang memiliki harta, namun ada di negeri orang dan terpisah darinya (sehingga ia tidak bisa mengakses hartanya itu –pent). Wallahu a’lam.

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Sabilillah

Definisi

Fii Sabilillah
Yang dimaksud dengan fii sabilillah, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat zakat, adalah orang yang berperang yang tidak mendapat bagian fai’. Dan orang-orang yang berhak mendapat fai’ disebut al-murtaziqah, dimana mereka tidak berhak mendapat zakat, sedikitpun, kecuali ghuzah (orang-orang yang ikut berperang). Sebagaimana fai’ tidak boleh diberikan kecuali kepada al-mutathawiah (relawan perang). Jika fai’ tidak ada, maka kelompok al-murtaziqah tidak boleh diberi dari harta zakat, menurut pandangan yang terbenar.

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Al-Gharim

Definisi

Al-Gharim/Pailit
Al-Gharimun, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat zakat, adalah orang yang berhutang dan jatuh pailit. Berhutang ada tiga macam:

1. Hutang demi memenuhi kebutuhan dan kebaikan dirinya sendiri, maka ia diberi zakat sekedar untuk membayar hutangnya, jika hutang itu bukan untuk tujuan maksiat. Dan berlebih-lebihan dalam nafkah (belanja hidup) adalah haram, demikian dikatakan Imam Al-Rafii dam diikuti oleh Imam Nawawi. Kedua imam tersebut berkata dalam Bab Boikot: Yang diberi zakat untuk pelunasan hutangnya adalah hutang untuk perkara mubah, dan ia tidak memiliki sesuatu yang bisa untuk melunasinya. Jika ternyata ditemukan/diketahui, ia memiliki harta, baik uang ataupun barang yang bisa melunasi hutangnya, maka tidak boleh diberi zakat. Alasannya adalah karena ia sendiri bisa melunasi hutang tersebut. Namun, jika hanya bisa membayar sebagiannya, maka berilah zakat sebesar sisa hutangnya. Jika ia mampu untuk mencari nafkah, maka ia diberi zakat untuk menutup hutangnya? Maka, yang terbenar adalah ia diberi zakat, karena jika tidak maka ia tidak mampu membayarnya kecuali setelah bertahun-tahun lamanya. Dan ini memadharatkan kedua pihak sekaligus: penghutang dan pemilik uang. Apakah disyaratkan hutang itu harus yang jatuh tempo? Ada khilaf ulama dalam hal ini. Imam Rafii berpandangan bahwa tidak disyaratkan hutang harus jatuh tempo. Namun Imam Nawawi berpandangan sebaliknya, yaitu hutangnya harus merupakan hutang yang jatuh tempo.

2. Berhutang demi mendamaikan dua orang/kelompok yang sedang bertikai. Semisal untuk mendudukan permasalahan yang terjadi diantara dua orang atau dua pihak. Ataupun takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan menimpa dua pihak, maka ada seseorang yang berhutang untuk mendamaikan dan memadamkan api fitnah, semisal dua pihak yang terlibat kasus pembunuhan namun belum diketahui siapa pembunuhnya. Konsekuensi atas pembunuhan adalah dihukum bunuh atau membayar diyat. Orang yang berperan sebagai penengah ini lalu berhutang. Maka, orang ini berhak mendapatkan zakat bagian gharim, baik berupa property, barang, maupun uang.

3. Berhutang dengan agunan. Tentang ini ada beberapa keadaan:

* Debitor/Gharim dan barang agunannya tidak ada, maka ia diberi zakat untuk bisa melunasi hutangnya.

* Debitor dan barang agunannya ada, maka orang yang demikian tidak boleh diberi zakat.

* Agunannya ada namun debitornya tidak bisa embayar hutangnya, jika barang agunan itu diagunkan dengan seizinnya maka tidak boleh diberi zakat namun jika tanpa seizinnya maka ia diberi zakat menurut pendapat yang terbenar sebab agunnya tidak bisa kembali lagi kepadanya.

* Ketahuilah bahwa gharim, ia diberi zakat ketika hutangnya tidak bisa ia bayar, namun jika ia bisa membayarnya maka tidak boleh diberi zakat, sebab berarti ia bukan gharim/pailit. Demikian juga orang yang bisa mengeluarkan hartanya untuk membayar, pada awalnya, maka ia tidak diberi zakat, sebab orang yang demikian tidak termasuk gharim/pailit.

* Jika ada seseorang yang mempunyai hutang dan berkata kepada si pemberi hutang (pemilik harta/piutang): “Berikanlah zakat anda kepadaku, lalu aku membayar hutangku kepadamu dengan zakat itu.” Kemudian pemilik harta itu melakukannya, maka sah-lah zakatnya walaupun penghutang tidak mesti menyerahkan kembali zakat itu untuk membayar hutangnya.

* Jika pemilik harta itu berkata: Aku akan ambil hartaku yang ada padamu lalu aku serahkan kembali kepadamu sebagai zakatku, maka sah-lah pembayaran hutang dengan cara ini, dan ia tidak wajib untuk menyerahkan kembali kepadanya. Namun, jika ia membayarkan zakat itu kepadanya dengan syarat ia menyerahkan kembali sebagai pembayaran hutangnya, maka tidak sah zakatnya dan tidak sah pula pembayaran hutangnya. Namun jika ia berniat tapi tidak mensyaratkannya maka boleh dan sah walaupun ia memiliki hutang.

* Jika pemilik harta berkata: “Aku kurangi hutangmu dengan menganggapnya sebagai zakatku kepadamu”, maka tidak sah zakatnya kecuali jika ia sudah menerima harta sebagai pembayaran hutang lalu ia berikan kembali kepada penghutang tersebut.” Ada pandapat, dan ini pendapat yang lemah, mengatakan sah zakat dengan cara demikian, sama seperti seseorang yang memiliki tabungan gandum yang dititipkan pada seorang fakir-miskin. Jika ia berkata kepada sang fakir-miskin itu: “Takarlah untuk dirimu sekian dan sekian sebagai pembayaran zakatku”, maka tentang sah-tidaknya ada dua pandangan ulama, diantaranya adalah pandangan yang menyatakan tidak boleh; pada hakikatnya, pemilik harta itu belum mewakilkan kepada sang fakir-miskin. Seandainya saja, sang fakir-miskin itu adalah wakil/mendapat amanah dari sang pemilik harta untuk membeli gandum, lalu ia pun membelinya, dan ia memegangnya, kemudian pemilik harta (yang menyuruh), berkata: “Ambillah untukmu sebagiannya sebagai zakatku untukmu, maka sah-lah zakatnya, dan tidak membutuhkan adanya perwalian/mewakilkan.

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Fii Al-Riqab

Definisi

Fii Al-Riqab
Al-Riqab, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat zakat, adalah budak-budak yang membuat perjanjian kemerdekaan dengan tuannya, dengan cara membayar biaya ganti-rugi yang disepakati. Orang jenis ini berhak untuk diberi zakat, secara langsung kepada mereka demi membebaskan dirinya dari status budak. Dan tidak boleh memberikan zakat kepada tuannya, atas nama sang budak, kecuali dengan seizin budak tersebut. Namun, jika diberikan langsung kepada tuannya sebesar harga pembebasan yang disepakati, maka lunaslah kewajiban budak. Wallahu a’lam.

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Muallaf

Definisi

Muallafati qulubuhum, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat zakat, adalah ketika kita (muslimin) merasa butuh kepada mereka karena faktor kecondongan hati mereka. Muallaf ada dua kategori, yaitu orang muslim dan kafir. Maka, tidak boleh memberikan zakat kepada muallaf jenis kafir, tanpa ada khilaf sedikitpun di kalangan ulama karena sebab kekafiran mereka.

Namun, apakah mereka bisa diberi harta dari bagian khumus (seperlima) ghanimah? Ada pendapat yang menyatakan: iya, mereka diberi dari bagian khumus sebab mereka adalah kelompok yang disasar untuk diharapkan kebaikannya. Namun yang benar adalah adalah mereka tidak boleh diberi, walaupun dari bagian khumus, sama sekali, sebab Allah ta’alaa telah memuliakan Islam dan muslimin sehingga tidak butuh lagi akan kebaikan dan pembelaan orang kafir. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pun memberi mereka bagian khumus karena saat itu Islam masih dalam keadaan lemah, dan keadaan ini sudah tidak ada. Wallahu a’lam.

Adapun muallaf jenis kedua, yaitu muallaf yang beragama Islam, adalah mereka-mereka yang sudah masuk Islam, namun niatan keislaman mereka masih lemah, maka diberilah mereka zakat dengan harapan untuk bisa menguatkan hati mereka di atas Islam ini.

Ada kelompok lain, selain dari dua jenis muallaf ini, yaitu mereka-mereka yang memiliki kedudukan mulia di masyarakatnya. Maka, kita berharap ia memiliki pandangan yang lembut tentang Islam, atau jika diberi zakat maka ia turut membantu menarik zakat dari orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Maka, menurut madzhab kami (madzhab syafii), adalah mereka diberi bagian zakat. Wallahu a’lam.

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Amilin

Definisi

1. Adalah orang-orang yang diangkat oleh imam/pemimpin atau presiden untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada mustahiqnya, sesuai dengan perintah Allah ta’alaa. Maka, ia boleh mengambil zakat untuk dirinya, sesuai dengan syarat penerimaanya, yaitu karena ia amil, salah satu dari 8 golongan penerima zakat sebagaimana yang Allah sebutkan dalam ayat ashnaf zakat (At-Taubah, ayat 60).

2. Sulthan (pemerintah/raja) tidak berhak menerima zakat, demikian juga waliyul iqlim (gubernur) dan qadhi (hakim), namun mereka --jika tidak meniatkannya sebagai amalan sukarela—maka mereka digaji dari dana lain yang disiapkan untuk pelayanan publik.

3. Diantara syarat menjadi amil adalah ia faqih (menguasai ilmu secara mendalam) tentang urusan-urusan zakat, sehingga ia mengetahui harta apa saja yang wajib zakat, berapa besarannya, siapa yang mustahiq dan yang bukan, bisa dipercaya, dan seorang yang merdeka (budak budak). Kenapa harus orang merdeka? Sebab jabatan itu adalah jabatan “kekuasaan”, maka tidak boleh dipegang oleh orang yang ada di bawah penguasaan orang lain. Juga, orang fasiq tidak boleh menjadi amil, semisal orang yang suka minum khamr (minuman keras), dan orang-orang yang dhalim. Semoga Allah membinasakan orang-orang yang merobohkan agama Allah ini dimana Allah-lah yang Allah yang telah menetapkan syariat-Nya untuk dirinya sendiri dan kemudian mengutus rasul-Nya untuk mengemban amanah agama Islam ini, serta menurunkan kitab-Nya.

4. Syarat amil yang berikutnya adalah harus muslim, sesuai dengan ayat Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil sebagai orang kepercayaanmu orang-orang yang dari luar kalanganmu.” (Q.S. Ali Imraan: 118). Tentang ayat ini, Umar bin Khaththab berkata: “Jangan kalian percayakan sesuatu kepada mereka sebab Allah telah mencap mereka pengkhianat dan jangan kalian dekati mereka sebab Allah telah mencampakkan mereka.” Tentang perkataan Umar ini sudah saya kemukakan secara lengkapnya dalam kitab saya “Qami’un Nufus”, dan di sana ada pembahasan yang patut untuk anda telaah.

5. Imam Al-Mawardy berkata: “Jika Imam (Sultan/Raja/Presiden Negara Islam) sudah menunjuk seseorang untuk menjabat sesuatu urusan, maka ia bisa menjalankan tugas tersebut dan tidak disyaratkan harus beragama Islam.” Imam Nawawi, mengomentari ucapan Imam Mawardy, “Ucapan Al-Mawardi ini harus ditinjau ulang.”

6. Saya (Penulis Kifayatul Akhyaar) berkata : “Apa yang diucapkan Al-Mawardy ini adalah dhaif jiddan (lemah sekali), dan tidak ada seorang ulama pun yang berkata demikian, sepanjang yang saya ketahui, dan bagaimana mungkin ia mengatakan itu padahal konsekuensi dari ucapan itu adalah orang kafir akan memiliki peluang atau celah untuk menguasai muslimin, dan Allah telah berfirman: “Dan Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan muslimin.” Q.S. An-Nisaa’, 141. Apalagi, jika kita lihat bagaimana rusaknya tatanan di zaman kita ini (abad 9 H/abad 15M). Sungguh, aku pernah melihat sejumlah kedzaliman, dimana ada sebagian orang ahli dzimmah (kafir dzimmi) menjabat satu jabatan dalam urusan muslimin, lalu ia menguasai dan merampas harta orang-orang Islam secara batil. Maka, akibat dari itu terkumpullah pada diri seorang muslim dua hal: dihinakan dan diremehkan. Maka yang benar adalah memastikan dan menekankah tidak bolehnya mengangkat orang kafir untuk menjadi pengelola urusan muslimin. Dan tidak ada khilaf sedikitpun di kalangan ulama bahwa apa yang dilakukan para umara’ (pemimpin pemerintahan) hari ini dengan mendirikan Dewan Kafir Dzimmi yang bertugas mendata kekayaan dan mengawasi para petani dan lainnya, maka ini semua adalah tidak boleh, sebab Allah ta’alaa sendirilah yang telah mencap mereka sebagai orang fasiq. Maka, siapa yang mempercayai mereka dan mempercayakan urusan muslimin kepada mereka maka ia telah menyelisihi Allah dan rasul-Nya, dan ia telah membuat perjanjian kuat dengan mereka padahal Allah sudah mencap mereka sebagai penghianat. Wallahu a’lam.

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Miskin

1. Definisi miskin adalah orang yang memiliki sejumlah harta sehingga mampu untuk membeli apa yang dibutuhkannya namun tidak bisa memenuhi semuanya, semisal orang yang butuh akan 10 dirham namun hanya memiliki 7 dirham. Demikian juga orang yang sudah memiliki mata pencaharian, namun hasilnya tidak mencukupi kebutuhan diri dan tanggungannya, maka boleh ia menerima zakat. Bahkan, seandainya ada seorang pedagang atau pemilik modal dagang seukuran satu nishab (senilai 85 gram emas 24 K/99% -pent), namun hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, maka ia boleh menerima zakat dan pada saat yang sama pun ia wajib menunaikan zakat perdagangannya itu.

2. Ketahuilah bahwa yang kami maksud dengan “mencukupi kebutuhan adalah mencakup kebutuhan makan, minum, pakaian, dan seluruh kebutuhan lainnya yang tidak boleh tidak harus terpenuhi secara layak tanpa berlebih-lebihan dan berkekurangan.

3. Saya (Penulis kitab Kifayatul Akhyaar) katakan: “Telah banyak menyebar kebodohan di kalangan masyarakat, dan terlebih lagi di kalangan saudagar/pedagang, dimana hati mereka telah terikat dengan harta dunia yang fana ini, mereka berfoya-foya dengan makanan yang mahal, pakaian yang mewah, bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik, dan lain-lain, hingga munculnya sikap kecintaan kepada dunia dan pemuliaan kepada mereka dari kalangan ahli tasawuf padahal ahli tasawuf sudah dikenal sebagai kelompok orang yang memisahkan diri dari dunia dan berkonsentrasi dengan amalan ibadah kepada Rabb mereka, dimana setiap mereka melakukan satu amalan ibadah dan dzikir tertentu, hingga ia dikenal termasuk kelompok tertentu atau ikut kepada pemimpin kelompok tertentu tersebut, semisal ahmadiyah dan qadariyah, dan mereka telah berbohong dalam pengakuan ibadah kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya. Mereka ini tidak berhak menerima zakat satu sen pun, bahkan tidak halal seseorang menyerahkan zakatnya kepada mereka ini. Dan siapa yang tetap memberikan zakatnya kepada mereka ini, maka itu tidak bisa mencukupinya bahkan belum gugur kewajiban zakat karenanya, maka ia harus mengulang pembayaran zakatnya dengan memberikannya kepada pihak lain. Adapun sekte-sekte lainnya, dan ini sangat banyak sekali, semisal al-qaladariyah, al-haidariyah, maka setiap mereka berbeda-beda dalam penyelisihan mereka terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, diantara mereka ada yang meyakini al-hulul (keyakinan menyatunya Allah dengan makhluk, -pent) dan al-mulhidah (anti tuhan), mereka ini jauh lebih kafir daripada Yahudi dan Nashari. Siapa yang memberikan zakatnya kepada mereka atau memberikan shadaqah kepada mereka, maka ia telah bermaksiat kepada Allah, dan Allah akan mengazabnya kelak jika Dia berkehendak. Dan wajib atas setiap orang yang mampu untuk mengingkarinya hendaklah ia mengingkari hal itu. Dan dosa-dosa mereka juga terkait dengan pemerintah karena melalui merekalah sebenarnya Allah menitipkan tampuk kekuasaan untuk memenangkan al-haq, memberantas kebatilan, dan membumihanguskan apa saja yang diperintahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk dibumihanguskan. Wallahu a’lam.

4. Anak kecil, jika tiada ada yang membiayai kehidupannya, maka ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa ia tidak diberi zakat karena ia sudah tercukupi dengan harta anak yatim, semisal ghanimah (rampasan perang). Namun, yang benar adalah ia tetap diberi zakat, melalui pemeliharanya, sebab terkadang tidak ada yang memberikan sumbangan kepada si yatim tersebut selain orang pemelihara tersebut, dan juga terkadang tidak ada pos dana yatim, sebab bapaknya adalah seorang fakir. Saya katakana: “Masalah ghanimah, telah banyak terjadi penerlantaran urusan karena penyelewengan pemerintah dalam menyalurkan ghanimah ini. Maka, perlu ada keputusan, yaitu bahwa boleh hukumnya memberikan sebagian ghanimah kepada yatim, kecuali jika anak yatim itu adalah dari kalangan terhormat, maka tidak diberi, meskipun ia dilarang dari menerima khumus (20 %) bagian dari ghanimah tersebut. Wallahu a’lam.

MUSTAHIQ ZAKAT Asnab Fakir

Imam Abu Syuja berkata:
Dan zakat diberikan kepada delapan pihak sebagaimana yang telah Allah sebutkan dalam kitab-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya shadaqah-shadaqah itu hanyalah untuk fakir, miskin, amil, muallaf, fii riqab, gharim/pailit, fii sabilillah, dan ibnu sabil”, ataupun kepada salah satu diantara delapan pihak tersebut.”

Keterangan (Kifayatul Akhyaar):

Anda sudah mengetahui harta apa saja yang wajib dizakati dan anda juga sudah mengetahui berapa besaran masing-masingnya. Sekarang kita akan kemukakan pihak-pihak mana saja yang wajib menerima. Jika zakat diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut karena tidak adanya syarat-syarat yang diakui syariat pada diri mereka, maka belum gugur kewajiban zakat atasnya. Dan mustahiq zakat adalah delapan golongan sebagaimana yang sudah Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an, mereka adalah sebagai berikut:

Fakir.

1. Fakir adalah orang yang tidak punya harta dan tidak punya mata pencaharian; atau memiliki harta dan mata pencaharian namun sangat tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, semisal orang yang dalam sehari membutuhkan biaya hidup 10 dirham namun hanya memiliki 2 dirham. Orang yang demikian belum terlepas dari sebutan “orang fakir”. Demikian juga seseorang yang hanya memiliki satu rumah untuk tempat tinggalnya dan satu pakaian untuk berhias dengannya, tidak terlepas sebutan nama “orang fakir” darinya. Demikian juga seorang budak yang selalu membantu pekerjaan tuannya.

2. Imam Qadhi Yusuf ibn Ahmad ibn Kaj Al-Dainuriy berkata: “Jika seseorang masih memiliki harta namun letaknya jauh darinya sejauh “bolehnya qashar” (maksudnya sekitar 89 km -pent) --dan ia tidak bisa mengambilnya-- maka ia boleh meminta zakat sekedar ia bisa sampai ke lokasi dimana hartanya itu berada; dan jika ia memiliki piutang harta di tangan orang lain yang belum jatuh tempo maka ia boleh meminta zakat sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya hingga orang yang berhutang kepadanya itu melunasinya.”

3. Namun, jika ia memiliki mata pencaharian, maka tidak boleh memberikan zakat kepadanya, berdasarkan sabda Rasulullah: “Tidak ada hak sepeser pun bagi orang kaya atau orang yang berbadan lengkap dan kuat.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasaa’I, Ibn Majah, Ahmad). Dalam riwayat lain: “Tidak halal zakat bagi orang kaya dan yang berbadan kuat lagi mampu untuk mencari mata pencaharian.” (HR. Abu Daud, Nasaai, Ahmad).

4. Jika seseorang memiliki mampu untuk mencari nafkah namun ia tersibukkan dengan ilmu agama (mencari dan mengajarkannya), dan jika ia bersikeras untuk juga mencari nafkah lalu tidak bisa mencukupinya, maka ia halal (boleh) untuk menerima zakat, berdasarkan pandangan yang benar dan ma’ruf. Ada pandangan lain yang menyatakan bahwa ia tidak boleh diberi zakat namun ia harus mencari nafkah. Dan ada pandangan lain lagi yang menyatakan jika ia bisa berfatwa dan bisa diharapkan hasil belajar tafaqquhnya serta ilmunya memberi manfaat kepada khalayak, maka boleh ia diberi zakat, jika tidak maka tidak boleh, sebab banyak dari orang-orang yang tinggal di lembaga-lembaga pendidikan namun ia tidak memberikan hasil yang diharapkan bahkan ia tertolak (baik karena gagal ataupun tidak menjadi orang yang shalih dan mengajarkannya –pent), manusia jenis ini tidak boleh diberi zakat tanpa ada khilaf sedikitpun di kalangan ulama. Jika ia bersemangat sekali dalam ibadahnya, akan tetapi mata pencaharian yang akan ia geluti menyita waktu sehingga menghalangi dari ibadah dan dari apa-apa yang bisa digapai jika menghabiskan waktu untuk itu, maka orang yang demikian tidak halal (tidak boleh) menerima zakat, sebab orang yang tidak butuh kepada orang lain lebih layak untuk tidak diberi zakat.

5. Ketahuilah bahwa orang fakir yang telah tercukupi kebutuhan hidupnya karena ada dalam tanggungan nafkah dari orang lain dan seorang istri yang tercukupi kebutuhannya dari suaminya, maka kedua orang ini tidak boleh diberi zakat. Hal ini sama seperti seseorang yang mewakafkan sesuatu harta kepada seorang fakir atau memberikan wasiat sejumlah harta kepada seorang fakir, maka kedua orang fakir ini tidak boleh diberi zakat. Dan inilah yang benar.

6. Ada permasalahan khilaf ulama tentang kerabat, yaitu jika sang kerabat (miskin) itu sudah diberi nafkah oleh pihak lain namun bukan merupakan pihak yang wajib menanggung nafkahnya, maka boleh diberi zakat dari pos/ashnaf fakir atau miskin, namun jika mereka merupakan orang yang wajib ditanggung nafkahnya oleh seseorang maka seseorang itu tidak boleh memberikan zakat kepada mereka, sama sekali, sebab jika begitu maka berarti ia menafkahi tanggungannya dengan zakat, dan ia diuntungkan karena terkurangi kewajibannya.

KITAB ZAKAT Bag. 4

SUMBER:
Syaikhul Islam ibn Taimiyah, Majmu Al-Fatawa, cet. I/1419H/1998M, Jilid 13, Maktabah Al-Ubaikan, Riyadh-KSA.


A. Pengantar Kitab Zakat
Segala pujian dan sanjungan adalah milik Allah, kami memohon karunia-Nya, memohon ampunan-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amal-amal kami; siapa yang diberi hidayah Allah maka tiada satu makhluk pun yang bisa menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah maka tiada satu makhluk pun yang bisa memberi hidayah kepada-Nya. Kami bersaksi bahwasannya tiada ilah yang bisa disembah secara hak, kecuali hanya Allah semata yang tiada sekutu baginya, dan kami bersaksi dengan penuh kerelaan dan keridhaan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.

Sesungguhnya Allah ta’alaa telah menganugerahi kita nikmat yang banyak, dengan diutus-Nya Muhammad SAW. Ini adalah nikmat yang terbesar yang pernah diterima oleh manusia, dan telah disempurnakan nikmat-Nya itu, dan menjadikannya ummat yang terbaik diantara sekian banyak ummat manusia; Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, Allah turunkan kepadanya Al-Qur’an dan Hikmah; Allah jadikan Al-Qur’an itu sebagai kitab yang menghapus keberlakuan kitab-kitab samawi sebelumnya; Allah menyuruh melalui Al-Qur’an agar semua makhluk hanya beribadah kepada Allah dan berbuat santun kepada makhluk-makhluk-Nya.

Allah berfirman:
“Dan sembahlah oleh kalian Allah, jangan musyrik kepada-Nya, kepada kedua orang tua kalian berbuat santunlah, juga kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan jauh, kawan terdekat dan kawan terjauh, ibnu sabil, dan budak-budak yang kalian miliki. Sungguh, Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri.” Q.S. Al-Nisaa’: 36).

Allah membagi agama ini menjadi tiga tahapan: Islam, Iman, dan Ihsan.
Allah menjadikan strata Islam sebagai sebagai bangunan yang disangga oleh lima tiang utama, yang terurgennya adalah shalat --dan itu ada lima kewajiban-- yang Allah gandengkan dengan zakat. Maka, ibadah yang terurgen adalah shalat, berikutnya adalah zakat. Di dalam shalat, manusia beribadah kepada-Nya, dan di dalam zakat, manusia berbuat santun kepada sesama. Oleh karena itu, Allah mengulang-ulang perwajiban shalat di dalam Al-Qur’an dalam banyak ayat, dan tiada Allah menyebutnya kecuali selalu digandengkan dengan perwajiban zakat.

Diantaranya, adalah firman Allah:
“Dan tegakkanlah shalat, dan tunaikanlah zakat.” Q.S. Al-Baqarah: 110.
“Dan jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka sudah menjadi saudara-saudara kalian dalam agama Islam ini.” Q.S. Al-Taubah: 11
“Dan tiadalah mereka diperintahkan, kecuali agar mereka beribadah hanya kepada Allah semata, dengan penuh ketundukan lagi lurus, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Dan, itulah agama yang lurus.” Q.S Al-Bayyinah: 5.

Dalam shahihain (Bukhari dan Muslim), dari hadits Abu Hurairah, dan Imam Muslim meriwayatkannya dari Umar:
“Sesungguhnya Jibril pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang Islam, maka beliau SAW menjawab: “Syahadat laa ilaaha illallah, dan sesungguhnya Muhammad adalah rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan haji ke baitullah.”

Dan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Aku diperintah Allah untuk memerangi manusia, sehingga mereka mau berikrar “Laa ilaaha illallah dan sesungguhnya Muhammad adalah rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat; jika mereka sudah menunaikan hal-hal itu, maka selamatlah darah dan harta mereka kecuali atas dasar haknya, dan urusannya terserah kepada Allah.”

Dan ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda:
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah da’wahmu yang pertama dengan syahadatain, jika mereka mentaatimu dalam hal ini maka beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari-semalam, jika mereka mentaatimu dalam hal ini, maka Allah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari kalangan orang-orang kayanya dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka. Maka, jika mereka mentaatimu dalam hal ini, ambillah dari mereka, dan hati-hati engkau jangan sampai mengambil harta yang paling bagusnya, dan takutlah engkau dari doa’-do’a orang yang terdzalimi, sebab antaranya dengan Allah tidak ada hijab.” Bukhari dan Muslim.***

B. Pengkorelasian shalat dengan zakat

Allah menyebut antara shalat dan zakat di dalam Al-Qur’an secara global, maka Rasulullah SAW menjelaskan detailnya, dan penjelasan Rasul itu pun adalah bagian dari wahyu, sebab Allah telah menurunkan kepadanya kitab dan hikmah.

Hissan ibn Athiyah mengatakan:
“Jibril turun kepada Rasulullah SAW dengan membawa as-sunnah dan mengajarkannya, sebagaimana ia mengajarkan kepada Rasulullah tentang Al-Qur’an.”

Tentang hal ini sudah saya kemukakan dibagian pengantar. Dan maksud as-sunnah di sini adalah tentang zakat. Maka, kami akan kemukakan apa yang bisa kami kemukakan dalam kesempatan ini seputar:

1. Hukum-hukumnya;
2. Sebagian hadits-hadits tentang zakat, serta
3. Sebagian ungkapan-ungkapan atau perkataan para ahli fiqh.

C. Pengertian Zakat

Allah terkadang menyebut zakat sebagai shadaqah, dan terkadang juga dengan nama zakat. Dan kata “zakat” secara bahasa, berarti tumbuh dan berkembang-biak. Dan sesuatu tidak dikatakan berkembang kecuali jika bersih dari toksin atau racun yang bisa merusak perkembangan dan pertumbuhannya. Oleh karena itu, kata “zakat” dalam syariat Islam berarti kesucian.

Allah berfirman: “Sungguh, sangat beruntung orang-orang yang mensucikan jiwanya.” Al-Syams: 9.

Allah berfirman:
“Sungguh, sangat beruntung orang yang mensucikan diri.” Q.S. Al-A’laa: 14.

Secara maknawi, jiwa orang yang bershadaqah menjadi suci, hartanya juga menjadi suci, bertambah bersih, dan berkembang.

Dan syariat Islam telah memahamkan kepada kita bahwa pensyariatan zakat adalah untuk pemerataan, dan tiadalah akan terjadi pemerataan kecuali terhadap orang yang memiliki harta kemudian menentukan bagian tertentu dari harta tersebut, kemudian mempostingnya dalam harta yang tertimbun/tersimpan. Diantara harta yang seperti ini adalah harta yang bisa berkembang dengan sendirinya, seperti hewan dan tumbuhan/tanaman; juga ada yang berkembang dengan diputar atau diberdayakan seperti uang. Allah menjadikan harta yang terambil menjadi bagian hak zakat menurut kadar kecapekan atau kesusahannya. Maka, barang yang diperoleh dari harta-harta jahiliyah (harta karun), dan ini lebih sedikit tingkat kecapekan atau kesusahan dalam mendapatkannya, maka zakatnya adlah 1/5 atau 20 %. Kemudian, harta yang diperoleh dengan capek atau susah-payah dari satu jalan saja, maka zakatnya adalah setengah dari 1/5 harta, atau sama dengan 10 % untuk yang diairi dengan air hujan. Dan untuk harta yang diperoleh dengan kecapekan atau kesusahan dua aspek, maka zakatnya adalah ¼ dari 1/5 total harta, yaitu sama dengan 5 % untuk yang diairi dengan pembiayaan irigasi. Dan harta yang diperoleh dengan kadar kecapekan dan kesusahan sepanjang tahun, seperti modal usaha, maka zakatnya adalah dengan nilai nominalnya, yaitu ¼ dari 1/10 total harta, atau sama dengan 2,5 %.***

D. Harta wajib zakat

Imam Malik mengawali pembahasan zakat dalam kitabnya “Al-Muwaththa”, dengan menukil hadits Abu Said, sebab hadits ini merupakan hadits yang terkuat dalam masalah ini. Demikian juga yang dilakukan oleh Imam Muslim dalam shahihnya. Di dalam hadits tersebut disebutkan tentang nishab untuk uang, unta, biji-bijian, buah-buahan, hewan ternak, modal usaha, di sini semuanya harus memenuhi syarat haul (12 bulan berjalan).

Penyebutan syarat haul adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, ibn Umar tentang diperhitungkannya haul dalam syarat zakat, walaupun Muawiyah dan Ibn Abbas telah menyelisihi mereka bertiga..Maka, apa yang diriwayatkan dari Al-Khulafa’ Al-Rasyidun Al-Mahdiyun (khalifah-khalifah yang terbimbing dan tertunjuki jalan kebenaran) adalah hujjah untuk mematahkan alasan orang-orang yang menyelisihi mereka bertiga. Apalagi tentang Abu Bakar Al-Shiddiq, dimana Rasulullah pernah bersabda: “Kewajiban kalin untuk mengikuti sunnahku dan sunnah-sunnah khalifah yang terbimbing dan tertunjuki jalan kebenaran setelahku.”

Dan sabda Rasulullah SAW:
“Dan jika suatu kaum mentaati Abu Bakar dan Umar maka mereka akan tertunjuki jalan kebenaran.”

Kemudian Imam Malik menyebutkan tentang nishab zakat emas, dan hujjah (kekuatan dalilnya) dalam masalah zakat emas ini jauh lebih kuat daripada hujjah untuk zakat uang, oleh karena itu aku akan mengakhirkan pembahasannya.

Kemudian, Imam Malik menyebutkan harta-harta apa saja yang diambil zakatnya, Maka beliau pun menyebutkan ayat-ayat dan hadits terkait. Dan hadits yang paling bagus dalam hal ini adalah hadits Umar ibn Khaththab ddan suratnya tentang zakat. Dan Imam Malik menyebutkan dari Umar ibn Abdul Aziz: “Sesungguhnya zakat tidak ditetapkan kecuali atas modal usaha, tanaman, dan hewan.” Dan Imam Malik pun mengambil hadits tersebut sebagai madzhabnya.

Imam ibn Abdil Barr mengatakan: “Dan ini adalah ijma’ ulama Islam, sebab zakat adalah sebagaimana yang sudah disebutkan tadi. Imam Ibn Al-Mundzir menyatakan: “Seluruh para ulama sudah sepakat bahwasannya zakat diwajibkan di dalam sembilan jenis harta:

1. Unta,
2. Sapi,
3. Kambing,
4. Emas,
5. Perak,
6. Gandum jenis bagus
7. Gandum jenis jelek
8. Kurma masak, dan
9. Anggur

Ini, jika setiap jenis harta tersebut telah mencapai nishab (kadar tertentu yang menyebabkan ia wajib ditunaikan zakatnya).

E. Nishab Zakat

Di dalam shahihain, disebutkan hadits dari Abu Said al-Khudri, Nabi SAW bersabda:
“Tidak ada zakat jika panen kurang dari 5 wasaq, tidak ada zakat jika hewan ternak kurang dari 5 dzaud, tidak ada zakat jika uang kurang dari 5 uqiyah. Dan beliau SAW menunjukkan dengan kelima jemari tangannya.”

Dan dalam lafadz hadits: “Tidak ada zakat jika kurang dari lima wasaq, baik kurma ataupun biji-bijian.” HR. Bukhari dan Muslim.

Dan lafadz: “Tidk ada zakat jika kurang dari 5 uqiyah.” Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir.

Imam muslim meriwayatkan dari Jabir, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Setiap sesuatu yang diairi oleh sungai dan hujan, zakatnya seper sepuluh (10 %), dan setiap sesuatu yang diairi dengan irigasi zakatnya setengah dari seper sepuluh (5 %).

(Terfahami dari hadits ini, adalah bahwa di zaman Nabi SAW, sungai bukan bagian dari irigasi, ini berbeda dengan yang dimaksud oleh teknologi pertanian modern, sebab sekarang ini, sungai merupakan bagian dari teknik irigasi yang tentu saja dengan pembiayaan –pent).

Imam Bukhari meriwayatkan hadits ibn Umar dengan lafadz: “Setiap tanaman yang diairi dengan hujan dan mata air atau air yang mengalir, zakatnya adalah seper sepuluh (10 %), dan yang diairi dengan irigasi, zakatnya adalah setengah dari seper sepuluh (5 %).”

Di dalam kitab Al-Muwaththa’ disebutkan “Tanaman yang diairi dengan mata air dan air mengalir dan tidak butuh akan pengairan dari orang lain --zakatnya adalah seper sepuluhnya (10 %).”

Abu Umar ibn Abdil Barr menyatakan: “Hadits pertama tadi memiliki sejumlah manfaat, diantaranya:
1. Wajibnya zakat atas harta-harta tersebut di atas, adalah dalam ukuran tertentu dan tidak diwajibkannya jika kurang dari ukuran itu.
2. Dzaud adalah istilah untuk kepemilikan unta antara 3 hingga 10 ekor.
3. Uqiyah adalah ukuran timbangan, 1 uqiyah sama dengan 40 dirham.
4. Nusy adalah ½ dari 1 uqiyah (berarti sama dengan 20 dirham atau 2 dinar -pent).
5. Nuwah adalah 5 dirham.

Abu Ubaid Al-Qashim ibn Sallam mengatakan: “Dan uang yang melebihi 200 dirham --sama dengan 5 uqiyah-- menurut tekstual hadits ini maka wajib dizakati karena tidak adanya nash tentang selebihnya dan tidak kena kewajiban zakat apa yang kurang darinya. Maka wajib zakat jika mencapai 5 uqiyah atau lebih. Dan mayoritas ulama mengambil hadits ini sebagai madzhabnya. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, dan ini adalah madzhab Malik, Al-Tsauri, Al-Auza’iy, Laits, Ibn Abi Laila, Al-Syafi’iy, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, Ishhaq, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sebagian ulama lainnya menyatakan: “Tidak ada kewajiban zakat untuk jumlah kelebihannya kecuali kalau mencapai 40 dirham.”

Emas, diwajibkan zakatnya jika mencapai 4 dinar. Hal ini diriwayatkan (dalam teks disebut oleh Syaikhul Islam dengan kata “yurwa” untuk menunjukkan dhaif/lemahnya pandangan ini -pent) dari Umar, demikian juga ungkapan Said dan Al-Hasan, Thawus, Atha, Al-Zuhri, Mak-hul, Amr ibn Dinar, dan Abu Hanifah. Adapun jika hasil panen melebihi berat 5 wasaq, maka seluruh ulama menyepakati akan perwajiban zakatnya, tanpa ada khilaf sedikitpun.

F. Nishab uang, emas, dan perak

Nishab uang yang diwajibkan zakat adalah 200 dirham berdasarkan hadits tersebut di atas. Yaitu ucapan Rasulullah SAW: “Lima uqiyah uang.” Dan ini disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh madzhab. Di dalam hadits Anas, masih dalam shahihain, disebutkan: “Dan uang, zakatnya ¼ dari 1/10 total harta (maksudnya adalah 2,5 % -pent).

Adapun nishab untuk emas, Imam Malik telah mengatakan di dalam kitabnya Al-Muwaththa: “Yang sudah menjadi sunnah, yang tidak ada khilaf sedikitpun, menurut kami adalah: “Sesungguhnya zakat diwajibkan atas 20 dinar, atau 200 dirham.” (Al-Muwaththa’ 1/250). Imam Malik telah menyatakan hal ini sebagai ijma’ seluruh ulama Madinah, dan tidak ada khilaf sedikitpun kecuali dari jalan Al-Hasan yang mengatakan: “Tidak ada kewajiban zakat kecuali jika mencapai 40 mitsqal.” Hal ini dinukil oleh Imam Ibn Al-Mundzir. Adapun hadits yang diriwayatkan seputar hal ini (tentang 40 mitsqal –pent), maka hadits tersebut kedudukannya dhaif/lemah.

Adapun jika kurang dari 20 dinar, jika nilai nominalnya tidak mencapai 200 dirham, maka tidak ada zakatnya berdasarkan ijma’ seluruh ulama Islam. Namun, walaupun jumlahnya kurang dari 20 dinar, akan tetapi nilai nominalnya mencapai 200 dirham, maka ada zakatnya menurut sebagian ulama salaf.

Ayat Al-Qur’an dan hadits menunjukkan atas wajibnya zakat atas kepemilikan emas. Ayat Al-Qur’an dan hadits juga menyatakan wajibnya zakat atas kepemilikan perak. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menginfaqkannya di jalan Allah, maka … dst.” Q.S. Al-Taubah: 34).

Nabi SAW bersabda:
“Tidak ada seorangpun dari pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan zakatnya, kecuali akan … dst..” HR. Muslim 24/987.

Tentang ini, akan kami terangkan kemudian, insya Allah, baik yang dikonversikan dengan dirham, dinar, ataupun yang tidak.***

G. Penggabungkan harta zakat.

Apakah emas ditambahkan (digabungkan) kepada perak agar tercapai nishab, lalu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Tentang hal ini ada sejumlah perkataan ulama:

1. Tidak ditambahkan. Ini adalah pandangan yang dilontarkan oleh Imam Syafi’i, dan diriwayatkan dari Syuraik dan Al-Hasan ibn Shalih.
2. Ditambahkan, sebab emas adalah sejenis dengan perak, akan tetapi uang tidak ditambahkan kepada emas, sebab uang itu sendiri adalah harta pokok tersendiri.
3. Ditambahkan dengan syarat yang sedikit mengikuti yang lebih banyak. Ini adalah pandangan Imam Al-Sya’bi dan Al-Auza’i.
4. Ditambahkan, akan tetapi ditentukan berdasarkan nilai nominalnya. Dan ini adalah pandangan Imam Abu Hanifah dan Al-Tsauri.
5. Ditambahkan dengan masing-masing bagian barang lainnya, dan ini adalah pandangan dari Al-Hasan, Qatadah, An-Nakha’i. Ini juga pandangan Imam Malik, dan sahabat Abu Hanifah (Abu Yusuf). Menurut mereka, jika seseorang memiliki 10 dinar dan 100 dirham, maka sudah wajib menunaikan zakat. Akan tetapi jika 10 dinar tersebut dinilai secara nominal adalah 150 dirham, lalu ia memiliki 50 dirham, maka tidak wajib zakat karena 1 dinar dalam zakat adalah 10 dirham bukan 15 dirham. Maka penambahan atau penggabungan masing-masingnya adalah dengan sistem bagian harta tersebut bukan berdasarkan nilai nominal.

H. Persyaratan Haul

Haul merupakan syarat dalam perwajiban zakat uang, hewan ternak, sebagaimana Rasulullah SAW mengutus para pegawainya untuk mengambil zakat pada setiap tahun sekali. Hal ini juga dilaksanakan oleh para khalifah setelahnya, baik untuk harta hewan ternak maupun uang simpanan. Hal ini karena mereka mengetahuinya dari sunnah Nabi SAW.

Imam Malik meriwayatkan dalam kitabnya Al-Muwaththa dari Abu Bakar Al-Shiddiq, Utsman ibn Affan, dan Abdullah ibn Umar, mereka bertiga mengatakan: “Ini adalah bulan dimana kalian harus menunaikan zakatnya.” Mereka mengatakan pula: “Tidak diwajibkan zakat atas harta sehingga harta tersebut telah melewati masa putaran 1 tahun.” (Al-Muwaththa 1/253).

Abu Umar ibn Abdil Barr mengatakan: “Hadits ini juga diriwayatkan dari Ali, Abdullah ibn Mas’ud, dan dipegang teguh oleh para ahli fiqh dahulu dan sekarang, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Muawiyah dan ibn Abbas, sebagaimana yang telah kami kemukakan di awal.”

Maka,:
1. Siapa yang memiliki satu nishab emas atau uang, lalu uang atau emas itu tetap padanya selama satu tahun, maka sudah wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya.
2. Jika memiliki harta namun kurang dari nishab, lalu memiliki sesuatu yang kemudian menjadi penambah sehingga mencapai pas 1 nishab, maka harta yang pertama itu ditentukan perhitungan awal haulnya pada saat penggabungan dengan harta yang kedua, yaitu pada saat mencapai nishab.
3. Jika seseorang memiliki satu nishab kemudian dalam perjalanan waktu berikutnya ia memiliki lagi harta yang juga mencapai nishab, maka masing-masing harta tersebut ditentukan haulnya sendiri-sendiri.
4. Adapun laba atau keuntungan usaha tidak dipisahkan dari modalnya, akan tetapi digabung dengan modal awalnya. Penunaian zakat laba/keuntungan mengikuti zakat modal usahanya tersebut jika memang mencapai nishab. Akan tetapi jika tidak mencapai nishab, maka penggenapannya untuk mencapai nishab dengan menambahkan keuntungannya itu. Dalam kasus ini, ia diwajibkan zakat menurut Imam Malik, walaupun pada saat itu ia masih memiliki barang dagangan yang belum laku terjual, lalu ia memiliki sesuatu harta yang menyebabkan jumlahnya mencapai 1 nishab, maka ia tetap wajib menunaikan zakatnya.

I. Zakat Barang Perniagaan

Adapun barang perniagaan, maka ia wajib dizakati. Ibn Al-Mundzir menyatakan: “Para ulama telah sepakat atas sesungguhnya barang perniagaan ada kewajiban zakatnya, jika telah melewati putaran 1 tahun.” Hal ini diriwayatkan dari Umar, ibn Umar, Ibn Abbas. Hal ini juga dipegang teguh oleh tujuh ahli fiqh Islam terkemuka, Al-Hasan, Jabir ibn Yazid, Maimun ibn Mihran, Thawus, Al-Nakha’i, Al-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Ahmad, Ishhaq, Abu Ubaid. Dan dikisahkan oleh Imam Malik dan Daud: “Tidak ada zakat atas barang perniagaan.”

Dalam sunan Abu Daud dari Samurah, katanya:
“Nabi SAW menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat atas barang yang kami persiapkan untuk dijual.” HR. Abu Daud 1562.

Dan diriwayatkan (teks aslinya adalah berbunyi “ruwiya” untuk menunjukkan dhaif/lemah –pent) dari Hammas, katanya: “Umar pernah lewat di depanku, maka ia mengatakan: “Tunaikanlah zakat hartamu.” Maka aku pun menjawab: “Aku tidak punya apa-apa kecuali alat untuk menaruh panah dan campuran roti.” Maka Umar mengatakan: “Timbang atau hitunglah, lalu tunaikanlah zakatnya.”

Dan kisah ini begitu masyhur dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Maka ini juga merupakan ijma’.

Adapun Imam Malik, maka menurut beliau, bahwasannya perniagaan ada dua macam:

1. Barang yang di stok di gudang-gudang, yaitu barang produksi yang masih ditunggu di pasaran, maka terkadang pasar menunggu kedatangan barang itu beberapa tahun lamanya. Untuk barang demikian tidak kena zakat, kecuali jika barang produksi tersebut sudah dijual, maka dizakati untuk tahun pertama. Dalilnya adalah bahwa zakat disyariatkan terhadap harta yang tidur/harta yang tertimbun. Maka, jika barang produksi itu dizakati setiap tahunnya, tentu akan mengurangi harganya dibanding ketika ia dibeli sebelumnya, dan ini merugikannya. Jika ia dizakati ketika dijual, jika mendapatkan laba, maka laba tersebut adalah sebagai penambahnya, maka dikeluarkan zakatnya. Dan tidaklah ditunaikan zakatnya kecuali jika dijual dengan nilai mencapai nishab, lalu dizakati setelahnya, baik banyak ataupun sedikit.

2. Barang yang berputar. Adapun yang kedua ini adalah barang produksi yang sudah ada di masa haul, maka barang produksi itu tidak tetap terus ada ditangannya. Maka, zakatnya dalah dalam satu tahun untuk keseluruhan harta tersebut, dengan cara menentukan 1 bulan untuk menghitung barang niaga dan uangnya, serta piutang yang ada ditangan orang yang dimungkinkan bisa kembali, dari itu semua, lalu dikeluarkan zakatnya. Ini jika harta itu ada ditangannya pada tahun/haul tersebut --walaupun sebesar 1 dirham-- namun jika ia tidak menjual dengan uang maka tidak ada zakat atasnya.

J. Zakat Perhiasan

1. Adapun untuk perhiasan, maka khusus perhiasan yang dimiliki oleh wanita, maka tidak ada perwajiban zakatnya menurut Imam Malik, Laits, Syafi’i, Ahmad, Abu Ubaid. Ini juga diriwayatkan dari Aisyah, Asma, Ibn Umar, Anas, Jabir, dan sejumlah tabi’in. Sebagian lainnya menyatakan: “Tetap ada zakatnya.” Yang kedua ini adalah pandangan dari Umar, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ibn Umar, dan sejumlah tabi’in. Ini juga merupakan pandangan Abu Hanifah, Tsauri dan Auza’i.
2. Adapun perhiasan laki-laki, maka semua yang diperbolehkan oleh syariat, tidak ada zakatnya, seperti perhiasan pada pedang, cincin dari perak.
3. Adapun perhiasan yang diharamkan dari memakainya, seperti bejana (piring, mangkok, dll –pent), maka ada zakatnya.
4. Khusus untuk barang yang diperselisihkan oleh para ulama, maka para ulama juga berselisih pendapat tentang wajib-tidaknya zakat. Imam Malik dan Syafi’i berpandangan ada zakatnya dan tidak diperbolehkan untuk mengambilnya; sedangkan Abu Hanifah dan Ahmad berpandangan boleh saja mengambilnya jika hiasannya berupa perak.
5. Adapun perhiasan kuda, seperti panah, tombak, dan pelana, maka menurut padangan jumhur ulama, ada zakatnya, baik perak maupun emas.

K. Harta Anak Yatim

Ada perwajiban zakat atas harta milik anak yatim. Ini menurut pandangan Imam Malik, Al-Laits, Al-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur. Dan hal ini juga diriwayatkan dari Umar, Aisyah, Ali, Ibn Umar, dan Jabir –Semoga Allah meridhai mereka semua. Umar mengatakan, “Perniagakanlah harta anak-anak yatim, jangan dimakan oleh zakat.” Aisyah juga mengatakan demikian Hal ini juga diriwayatkan dari Al-Hasan ibn Ali. Juga, ini merupakan pandangan Atha’, Jabir ibn Zaid, Mujahid, dan Ibn Sirin.

L. Harta Karun

Harta yang hilang, terlantar, dan yang semisalnya, menurut Imam Malik, tidak terkena zakat kecuali jika sudah ditangan (ditemukan kembali).. Apabila sudah ada di tangan, maka ada perwajiban zakatnya, yaitu satu kali pada tahun pertama. Demikian juga piutang, tidak terkena zakat kecuali jika sudah ia terima kembali piutangnya dari debitor (penghutang), zakatnya ialah satu kali. Dan ucapan Imam Malik diriwayatkan dari Al-Hasan, Atha’ Umar ibn Abdil Aziz. Akan tetapi ada ungkapan lain (dalam teks arab disebut dengan lafadz “qiila” untuk menunjukkan lemahnya pandangan berikut ini –pent): “Dikeluarkan zakatnya setiap tahun jika sudah diterima kembali piutangnya atas tahun-tahun yang sudah berlalu.”. Imam Syafi’i memiliki dua pandangan tentang hal ini.

M. Barang Mineral

Jika barang mineral dieksplorasi dan mencapai satu nishab emas, perak, maka ada zakatnya atas orang yang mengeksplorasinya. Hal ini adalah pandangan dari Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad . Imam Ahmad menambahkan, “Juga termasuk batu mulia dalam berbagai jenisnya dan aqiq.”

Imam Ishhaq dan Ibn Al-Mundzir menyatakan: “Barang-barang mineral tersebut harus dilewatkan masa kepemilikannya satu haul (12 bulan) baru dikeluarkan zakatnya.”

Imam Abu Hanifah menyatakan: “Zakatnya adalah 1/5-nya (20 %), dan tidak terkena perwajiban zakat kecuali barang mineral yang bisa dicetak, seperti besi, timah, seng, dan tidak terkena zakat atas mineral lainnya.”

Adapun barang mineral yang keluar dari dalam lautan, seperti mutiara dan marjan, maka menurut jumhur ulama, tidak ada zakatnya. Beberapa ulama berpandangan (dalam teks Arab, disebut dengan lafadz “qiila” untuk menunjukkan lemahnya pandangan berikut ini –pent): “Walaupun dari dalam lautan, tetap ada zakatnya.” Ini adalah pandangan Imam Al-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan satu riwayat dari Imam Ahmad.***

N. Zakat Uang

Dan kepemilikan hutang akan mengugurkan wajibnya zakat uang. Ini menurut pandangan Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan satu dari dua ucapan Imam Syafi’i. Ini juga merupakan pandangan Imam Atha’, Al-Hasan, Sulaiman ibn Yasar, Maimun ibn Mihran, Al-Nukha’i, Al-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, Ishhaq, dan Abu Tsaur.

Mereka berdalil dengan riwayat dari Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa, dari jalan Saib ibn Yazid, katanya: “Aku mendengar Utsman berkata: “Ini adalah bulan dimana kalian harus mengeluarkan zakat kalian, maka siapa yang memiliki hutang, lunasilah, sehingga kalian membersihkan harta kalian dari hutang, lalu tunaikanlah zakat dari harta kalian itu.”

Imam Malik menyatakan:
“Jika ia memiliki barang perniagaan, lunasilah hutangnya, tinggalkanlah hartanya itu, dan jadikan harta itu untuk melunasi hutang-hutangnya. Dan ini pulalah yang harus ditetapkan oleh hakim dengan memisahkan harta atas sisa dari pengeluaran kebutuhan primernya. Dan jika pada saat yang sama ia juga memiliki piutang kepada debitor yang dianggap lancar, maka jadikan itu sebagai pengurang hutangnya, kemudian keluarkan zakat atas sisa hartanya itu. Namun, jika ia tidak memiliki apa-apa kecuali sekedar apa yang ada ditangannya, maka gugurlah kewajiban zakat atasnya.***

O. Zakat madu

Para ulama berselisih pendapat tentang ada-tidaknya zakat atas madu. Perselisihan ini terjadi di kalangan ulama-ulama Madinah. Imam Al-Zuhri menyatakan: “Madu ada zakatnya.” Ini juga merupakan pandangan dari Imam Al-Auza’i, Abu Hanifah, dan sahabat-sahabatnya. Juga, ini merupakan pandangan Rabi’ah, Yahya ibn Said. Zakatnya adalah 1/10-nya (maksudnya adalah 10 %). Akan tetapi, menurut pandangan dari Imam Syafi’i dan Ahmad, madu tidak ada zakatnya.***

P. Tanaman yang diairi dengan hujan dan mata air

Adapun tentang hadits yang berbunyi: “Untuk setiap tanaman yang diairi dengan air hujan dan mata air, zakatnya 1/10-nya” Tentang ini, para ulama sepakat tentang persentase zakatnya. Akan tetapi, mereka berbeda pandangan tentang jenis tanaman apa saja yang masuk dalam kategori ini.

Sebagian pertama mengatakan: “Wajibnya zakat 10 % adalah atas setiap jenis tanaman yang ditanam oleh bani Adam, seperti biji-bijian, palawija, dan semua buah-buahan yang diperjualbelikan, baik banyak maupun sedikit.” Hal ini diriwayatkan dari Hammad ibn Abi Sulaiman, Abu Hanifah, dan Zufar.

Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan:
“Tidak wajib zakat atas tanaman, kecuali tanaman yang buahnya tahan lama dan mencapai 5 wasaq.”

Imam Ahmad menyatakan:
“Wajibnya zakat 10 % adalah atas buah-buahan yang bisa dikeringkan, diawetkan, diukur dengan timbangan --seberat 5 wasaq atau lebih, baik berupa biji-bijian --seperti gandum, gabah (padi yang sudah dipanen dan dipisahkan dari jeraminya –pent), jewawut, dan biji sawi; ataupun dari jenis palawija seperti kacang-kacangan dan adas; atau dari jenis abariz seperti kasfarah, karawiya, bazar, dan berbagai biji-bijian lainnya.”

Menurut kedua ulama ini (Abu Yusuf dan Muhammad –pent), zakat juga wajib atas jenis buah-buahan dan biji-bijian yang karakteristiknya sama dengan buah-buahan atau biji-bijian di atas, seperti tamr (kurma masak), kismis, lauz, bunduq, fustaq, akan tetapi tidak wajib zakat untuk buah-buahan lainnya, sayur-mayur. Inilah ucapan Abu Yusuf dan Muhammad.

Dan pandangan serupa dikemukakan oleh Ibn Habib dari ulama Malikiyah. Ia mengatakan seperti ucapan Imam Malik, dan menambahkan: “Zakat diambil dari semua jenis buah-buahan yang pohonnya berakar tunggang, baik buahnya bisa disimpan dan bertahan lama maupun tidak.” Ia mengatakan: “Jika seseorang memiliki satu jenis buah-buahan dengan berat mencapai 5 wasaq, jika bisa dikeringkan seperti jauz, lauz, dan fustaq, maka zakatnya adalah seper sepuluhnya (10%), namun jika tidak bisa dikeringkan, seperti delima, apel, fursak, safurjal, dan yang semisalnya, dan mencapai berat 5 wasaq dalam keadaan masih segar, maka wajib ditunaikan zakatnya. Jika sudah dijual sebelumnya, maka zakatnya adalah seper sepuluh (10 %) dari total nominalnya, namun jika belum dijual diambil zakatnya 10 %-nya.

Imam Malik dan para sahabatnya mengatakan dalam berbagai ungkapan mereka yang masyhur bahwasannya zakat diwajibkan atas gandum dalam berbagai jenis dan kualitasnya, biji sawi, jewawut, gabah, hamsh, adas, jalbab, rusy, buslah, samsam, masy, biji fajl, dan berbagai biji-bijian yang bisa dikonsumsi dan disimpan untuk waktu lama.

Zakat ini diwajibkan atas tiga jenis buah-buahan: kurma masak (tamr), kismis, dan zaitun. Imam Syafi’i mengatakan: “Diwajibkan zakat atas buah-buahan adalah untuk buah-buahan yang bisa dikeringkan, disimpan, dimakan langsung atau dimasak, atau bisa dijual.” Tentang buah zaitun, Imam Syafi’i memiliki dua ucapan. Dan wajib zakat, menurut beliau, atas kurma masak (tamr) dan kismis.

Imam Laits ibn Sa’ad mengatakan: “Setiap sesuatu yang bisa dibuat adonan, maka ada zakatnya, termasuk diantaranya kurma masak, kismis, dan zaitun.” Demikian juga Imam Tsauri --mewajibkan zakat atas zaitun-- Imam Auza’i dan Zuhri. Hal ini juga diriwayatkan dari Ibn Abbas. Imam Auza’i mengatakan: “Telah berlalu sunnah Nabi bahwasannya zakat adalah diwajibkan atas gandum dalam berbabagi jenis dan kualitasnya, jewawut, kurma masak, anggur, dan zaitun.” Imam Ishhaq menyatakan: “Setiap buah dan biji-bijian yang bisa dibuat adonan, maka ada kewajiban zakatnya.”

Dan menurut Imam Ibn Al-Mundzir, zakat hanya diwajibkan atas sembilan bahan pokok saja, yaitu:
1. Tamr (kurma masak);
2. Kismis;
3. Jewawut;
4. Gandum;
5. Perak;
6. Emas;
7. Unta;
8. Sapi; dan
9. Kambing

Seluruh ulama di atas menyatakan wajibnya zakat atas buah-buahan dan biji-bijian jika mencapai minimal 5 wasaq, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Mujahid dan Abu Hanifah. Keduanya mengatakan: “Buah-buahan dan biji-bijian tetap diwajibkan zakat walaupun sedikit (kurang dari 5 wasaq).” Walaupun begitu, keduanya tetap mensyaratkan buah atau biji-bijian itu harus yang bisa dikeringkan, dibersihkan. Buah zaitun mengkel, anggur mengkel, ruthab (kurma mengkel) dikeluarkan zakat dari nilai nominalnya ataupun dari buahnya. Imam Malik menyatakan: Apabila buah-buahan atau biji-bijian itu mencapai 5 wasaq, kemudian dijual, maka keluarkanlah zakat darinya dalam bentuk nilai nominal (uang).

Q. Penggabungan biji-bijian dalam perzakatan

Gandum dalam berbagai jenis dan kualitasnya, baik yang bagus, jelek, pecah, atau jenis kepala, digabungkan menjadi satu lalu dikeluarkan zakatnya, demikian juga untuk jenis buah-buahan atau biji-bijian lainnya. Demikian hasil panenan yang ada diberbagai negeri, namun jika masih tetap milik satu orang, maka semuanya digabungkan lalu dikeluarkan zakatnya. Adapun perserikatan, maka setiap bagian perorangannya harus mencapai nishab.***

R. Konversi wasaq

Satu wasaq adalah 60 sha’. Sementara itu, satu sha’ = 4 mud dengan ukuran mud nabawy. Sementara itu, satu mud = 5,33 ritel baghdad. Satu ritel Baghdad = 28 dirham. Dan dirham yang dimaksud di sini adalah dirham yang berlaku pada zaman khalifah Abdul Malik. 10 dirham = 7 mitsqal. Sehingga total nishab dengan konversi ritel baghdad = 1600 ritel. Jika dikonversikan dengan ritel yang berlaku di dimasyq (Damaskus, Syuriah) = 342 ritel***

(NB. Satu wasaq = 180 kg; 5 wasaq = 9 kwintal. Konversi wasaq menjadi ukuran kilogram, silakan lihat di www.siwakz.net pada fitur nishab zakat pertanian -pent)

S. Zakat Terhutang

Siapa yang menjual buah-buahan atau menghibahkannya atau ia meninggal setelah buah itu siap untuk dipanen, maka ia terkena perwajiban zakat. Namun, jika ia meninggal pada saat buah belum siap panen, maka zakat diwajibkan atas orang yang membeli hasil panennya kelak, barang yang dihibahkan, dan harta warisan jika setiap bagian waris tersebut mencapai nishab.

T. Pertanian dengan dua sistem pengairan

Dan tidak ada perwajiban zakat atas hasil panen kecuali jika mencapai 5 wasaq per satu jenis panenan. Qamh, Sya’ir (gandum jenis jelek), dan sulat (gandum jenis kepala), menurut Imam Malik, adalah satu jenis. Demikian juga palawija, yaitu kacang-kacangan, adas, dan yang semisalnya, adalah satu jenis menurut Imam Malik.

Kadar zakat yang dikeluarkan adalah tergantung kadar kesulitan dalam merawat tanaman dan kemudahannya. Hal ini berdasarkan hadits: “Tanaman yang diairi dari langit, sungai, mata air, maka zakatnya adalah seper sepuluh (10 %); dan yang diairi dengan air yang diusung dengan unta, maka zakatnya adalah setengah dari seper sepuluh (5 %); dan yang diairi dengan 50 % air hujan dan 50 % irigasi, maka zakatnya adalah tiga bagian dari seper sepuluh yang dibagi empat (7,5 %).

U. Zakat Tanaman Milik Sendiri

Setiap tanaman yang dikelola dan menjadi milik sendiri, maka ia wajib menzakatinya.
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah satu bagian dari hasil usahamu yang baik dan hasil bumimu, dan janganlah kalian mencampur antara barang yang baik dengan yang buruk untuk diinfaqkan, sedangkan kalian sendiri tidak berhasrat untuk memilikinya.” Q.S. Al-Baqarah: 267

Maka, baik lahan itu miliknya sendiri atau lahan sewaan, atau lahan yang dititipkan kepadanya oleh pemimpin (khalifah) lalu ia mengolahnya, atau meminjamnya, ataupun lahan wakaf, maka ia wajib mengeluarkan zakat dari hasilnya.

Imam Ibn Al-Mundzir mengatakan: “Para ulama yang kami ambil ilmu dari mereka telah sepakat bahwasannya setiap lahan yang dimiliki seseorang, maka jika ditanami, maka ada perwajiban zakat atas mereka, demikian juga lahan yang ada perjanjiannya.

Siapa yang menyewa lahan untuk ditanami, maka ia wajib menunaikan hak zakatnya menurut jumhur ulama, seperti Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf, dan Muhammad. Demikian juga lahan yang digarapkan kepada orang lain, maka pemilik tanah menunaikan zakat sebesar 10 %, jika semua hasil panen menjadi miliknya, dan ia menggaji petani atas perawatan pertaniannya, maka zakatnya adalah 10 %; jika hasil panennya dibagi paroan (Bahasa Jawa, artinya 50:50 -pent) atau mertelu (Bahasa Jawa, artinya 2/3:1/3, 2/3 untuk pemilik lahan dan 1/3 untuk penggarap) atau paroan atau 1/3-nya untuk pemilik lahan, maka masing-masing wajib menunaikan zakat 10 % dari hasil panen yang sudah dibagikan kepada masing-masingnya, sebab tanaman tersebut tumbuh dan berkembang atas kepemilikannya. Inilah ucapan ulama-ulama Islam.

Nabi Muhammad SAW mengambil dari para sahabatnya seper sepuluh (10 %) untuk kemudian beliau menyalurkan kepada para mustahiqnya. Lalu, Beliau menyuruh para sahabat tersebut untuk menginfaqkan dalam jihad atas harta yang selebihnya. Jika ada seorang tentara yang diberi dana untuk ia berjihad, maka yang utama adalah ia diberi 10 %. Siapa yang dititipi lahan oleh pemimpin untuk dikelola dan untuk dana jihad, lalu tumbuhlah tanaman atas kepemilikannya itu, maka para ulama mengatakan tidak ada kewajiban 10 % zakat atasnya.

Para ulama berbeda pandangan tentang orang yang berhak mendapatkan manfaat atas barang, seperti penyewa rumah, atau yang lainnya, maka jumhur ulama menyatakan: “Ia wajib menunaikan zakat 10 %.” Ini adalah ucapan para sahabat Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Adapun Abu Hanifah sendiri mengatakan: “Kewajiban zakat 10 % adalah atas pemilik tanah, bukan atas penyewanya.”

Para pemilik lahan garapan, jika ia menyewakan lahan tanahnya, lalu ia membantu dengan tenaganya untuk mengelola pertaniannya, maka mereka wajib menunaikan zakat 10 %, menurut jumhur ulama. Pandangan ulama lain, wajibnya 10 % adalah atas penyewanya. Maka, siapa yang menyatakan bahwa besaran zakat 10 % yang Allah tetapkan untuk para mustahiq, gugur dan tidak wajib atas pemilik lahan garapan, maka ia telah menyelisihi ijma' ulama.

Apalagi, para tentara itu tidaklah digaji. Akan tetapi, mereka adalah tentara-tentara Allah; mereka berperang fii sabilillah sebagai ibadah; mereka mengambil rizqi ini (hak mustahiq fii sabilillah) dari baitul mal sekedar untuk menolong atau membantu mereka dalam rangka jihad. Dan semua yang mereka terima bukanlah harta milik kepala negara, akan tetapi harta Allah yang dibagikan oleh waliyul amr kepada para mustahiqnya. Maka, siapa yang menjadikan bagian itu sebagai gaji, maka ia telah menjadikan jihad mereka untuk selain Allah.

Tentang ini, ada hadits yang berbunyi:
“Seperti orang-orang yang berperang dari kalangan ummatku, mereka menerima harta yang diberikan kepada mereka seperti ibunya Musa yang menyusui anaknya (Musa), lalu iapun mengambil upahnya.” HR. Abu Daud dalam Al-Marasil 332, Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubra 9/27, Sa’id ibn Manshur dalam Sunan-nya 2361, Ibn Abi Syaibah dan Mushannaf-nya 5/347, Suyuthi dalam Dur Al-Manstur 5/122, seluruhnya dari jalan Jubair ibn Nufair.***

V. Petani yang Memiliki Hutang

Jika pemilik tanaman dan buah-buahan itu mempunyai hutang, apakah kewajiban zakat gugur atasnya? Tentang hal ini, ada tiga pandangan ulama (Ibn Taimiyah dalam perinciannya menyebutkan empat –pent):
1. Tidak gugur sama sekali. Ini adalah pandangan Imam Malik, Al-Auza’i, Syafi’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad;
2. Gugur kewajiban zakatnya. Ini adalah pandangan Imam Atha, Al-Hasan, Sulaiman ibn Yasar, Maimun ibn Mihran, Al-Nukha’i, Laits, Tsauri, dan Ishhaq. Demikian juga kepada pemilik ternak unta, sapi, dan kambing.
3. Gugur zakat atas hutang yang digunakan untuk membiayai pertaniannya, dan tidak gugur zakat atas hutang untuk pembiayaan hidup keluarganya;
4. Gugur kewajiban zakat, baik hutangnya untuk pembiayaan pertanian ataupun hutang untuk pembiayaan hidup keluarganya.

Pandangan yang pertama adalah pandangan Ibn Abbas, dan ini pulalah yang dipilih dan dipegang oleh Imam Ahmad dan selainnya. Adapun pandangan yang kedua dipegang oleh Abdullah ibn Umar.***

W. Zakat Ruthab

Ruthab (Kurma yang menkel dan belum masak) dan zaitun yang belum diambil sarinya, anggur yang belum menjadi kismis, maka menurut Imam Malik dan ulama lainnya, ditunaikan zakat dari nilai nominalnya jika ditimbang mencapai 5 wasaq, walaupun harganya tidak mencapai 200 dirham, walaupun dijual sebelum benar-benar mengkel, maka ditunaikan zakat dari nilai nominalnya. Ulama lain menyatakan: “Zakat dikeluarkan dari buah tersebut atau minyaknya.”***

X. Zakat Hewan Ternak

Demikian tadi di atas adalah penjelasan tentang perwajiban zakat uang, emas, perak, dan tanaman berdasarkan dalil-dalil hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an.

Adapun zakat hewan ternak: unta, sapi, dan kambing, maka ini semua sudah ditunjukkan dalilnya menurut hadits-hadits shahih, Nabi SAW pun sudah menuliskan ketentuannya, Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar, dan para sahabat yang lainnya juga sudah menuliskannya

Dalam sebuah hadits shahih dari Anas ibn Malik --lafadz berikut ini adalah dalam riwayat Bukhari-- sesungguhnya Abu Bakar pernah menulis surat kepadanya (Anas ibn Malik) ketika dirinya hendak pergi ke Bahrain:

Bismilahirrahmanirrahim,
Berikut ini adalah perwajiban-perwajiban zakat yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah kepada muslimin, dan ini pulalah yang sudah Allah dan Rasul-Nya tetapkan ; maka siapa yang meminta bagian zakat ini, asalkan ia adalah muslimin dan mustahiq, hendaklah diberikan kepadanya, dan siapa yang memintanya melebihi kadarnya, maka jangan diberi:
1. Untuk setiap 24 ekor unta, setiap lima ekornya dizakati 1 ekor kambing;
2. Jika mencapai 25 s/d 35 ekor unta, zakatnya adalah satu ekor bintu makhad ;
3. Jika mencapai 36 s/d 45 ekor unta, zakatnya adalah satu ekor bintu labun;
4. Jika mencapai 46 s/d 60 ekor unta, zakatnya adalah satu ekor hiqqah
5. Jika mencapai 61 s/d 75 ekor unta, zakatnya adalah satu ekor jadza’ah;
6. Jika mencapai 76 s/d 90 ekor unta, maka zakatnya adalah dua ekor bintu labun;
7. Jika mencapai 91 s/d 120 ekor unta, zakatnya adalah dua hiqqah;
8. Jika melebihi 120, zakatnya dihitung untuk per 40-an atau per 50-an:
9. Untuk setiap 40 ekor zakatnya, zakatnya satu ekor bintu labun;
10. Untuk setiap 50 ekor, zakatnya satu hiqqah;

Dan siapa yang tidak memiliki unta, kecuali hanya 4 ekor, maka tidak ada perwajiban zakatnya sampai kapan pun; namun jika mencapai 5 ekor, maka zakatnya adalah satu ekor kambing.

Dan zakat atas kambing adalah:
1. Untuk setiap kambing gembalaan dengan jumlah 40 s/d 120, zakatnya satu ekor kambing;
2. Untuk jumlah diatas 120 hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing;
3. Untuk jumlah di atas 200 hingga 300 ekor, zakatnya tiga ekor kambing;
4. Untuk jumlah di atas 300 ekor, maka dibuat per 100-an ekor, setiap 100 ekornya dizakati satu ekor kambing.

Dan jika jumlah kambing gembalaan seseorang mencapai 40 ekor kurang satu (39 –pent), maka tidak ada perwajiban zakatnya sampai kapanpun. Zakat atas emas murni (riqqah) adalah seper empat dari seper sepuluh (2,5 % -pent), jika tidak memiliki emas murni kecuali sekedar 190, maka tidak ada zakatnya hingga kapanpun.” HR. Bukhari 1454

Dan hadits dalam riwayat Anas --masih dalam surat tersebut-- tertulis:

1. Siapa yang memiliki kewajiban zakat sebuah jadza’ah (berarti memiliki unta sebanyak 61 s/d 75 ekor –pent), akan tetapi ia tidak memiliki jadza’ah, hanya memiliki hiqqah, maka diterima pembayaran zakatnya dengan hiqqah ditambah dua ekor kambing, jika ada, ataupun ditambah 20 dirham;
2. Siapa yang memiliki kewajiban zakat seekor hiqqah (berarti ia memiliki ternak unta 40 s/d 60 ekor –pent), akan tetapi ia tidak memiliki hiqqah dan hanya punya jadza’ah, maka diterima pembayaran zakatnya dengan jadza’ah, namun pezakat itu diberi uang sebanyak 20 dirham atau dua ekor kambing;
3. Siapa yang memiliki kewajiban zakat seekor hiqqah (hiqqah (berarti ia memiliki ternak unta 40 s/d 60 ekor –pent), sedangkan ia tidak memiliki hiqqah dan hanya punya bintu labun, maka diterima pembayaran zakat bintu labun ditambah lagi dengan dua ekor kambing atau 20 dirham;
4. Siapa yang memiliki kewajiban zakat satu ekor bintu labun (berarti ia memiliki ternak unta 36 s/d 45 ekor –pent), namun ia tidak punya bintu labun, dan hanya punya hiqqah, maka diterima pembayaran zakat dengan satu ekor hiqqah, maka pezakat itu diberi 20 dirham atau 2 ekor kambing;
5. Siapa yang memiliki kewajiban zakat satu ekor bintu labun, namun ia tidak punya bintu labun, dan hanya punya bintu makhad, maka diterima zakatnya dengan bintu makhad akan tetapi dengan tambahan 20 dirham atau dua ekor kambing. HR. Bukhari 1450
6. Tidak boleh menggabungkan harta zakat yang terpisah dan tidak boleh memisahkan harta zakat yang bersatu, karena takut terkena beban zakat. HR. Bukhari 1453
7. Dan ternak milik dua orang yang tergabung dalam satu kandang atau satu gembalaan, maka keduanya diberlakukan zakat secara adil kepada masing-masingnya. HR. Bukhari 1451
8. Tidak boleh menunaikan zakat dengan ternak yang harimah (ternak yang sampai tanggal giginya karena sudah tua –pent), atau yang rusak salah satu matanya, atau yang kurus, sampai kapan pun.” HR. Bukhari 1448

Masih dalam riwayat Anas ibn Malik, disebutkan:

1. Siapa yang memiliki kewajiban zakat seekor bintu makhad (berarti ia memiliki unta sebanyak 25 s/d 35 ekor –pent), namun ia tidak memilikinya kecuali seekor bintu labun, maka diterima zakat bintu labun itu, namun pezakat itu diberi kembalian uang 20 dirham atau 2 ekor kambing;
2. Jika ia tidak punya seekor bintu makhad, akan tetapi memiliki ibn labun, maka diterima pembayaran zakat ibn labun itu dan pezakat itu tidak diberi kembalian apa-apa. HR. Bukhari 1448.

Imam Malik meriwayatkan surat Umar ibn Khaththab ini dengan lafadz seperti tersebut di atas atau mirip, kecuali perihal ganti tambah dan ganti kurang dan 20 dirham, ini tidak disebutkan. (Lihat Al-Muwaththa: zakat 1/257

Keterangan tambahan: (Dari penerjemah –pent)

1. Bintu Makhad adalah anak sapi (bahasa Jawa Pedhet -pent) yang sudah genap berusia satu tahun dan memasuki tahun kedua;
2. Ibnu Labun adalah anak sapi yang sudah genap berusia dua tahun;
3. Hiqqah adalah anak sapi yang sudah genap berusia tiga tahun dan masuk tahun ke empat;
4. Jadza’ah adalah unta yang sudah genap berusia 4 tahun dan masuk tahun ke lima; sapi yang sudah genap berusia dua tahun, domba yang sudah genap berusia satu tahun, kambing yang sudah genap 6 bulan lebih;
5. Ternak gembalaan adalah ternak yang digembalakan di padang rumput bebas dan tanpa biaya.

Y. Hewan Ternak Non-Gembalaan

Imam ibn Al-Mundzir mengatakan: “Yang tersebut di atas, tentang detail zakat hewan ternak gembalaan, adalah sudah disepakati oleh seluruh ulama, sampai jumlah 120 ekor, dan tidak benar sama sekali tentang riwayat yang menyatakan untuk ternak sebanyak 25 ekor unta zakatnya 5 ekor kambing.”

Dan pandangan beliau tentang hadits tersebut di atas:
“Untuk ternak kambing gembala, ada perbedaan pandangan di kalangan ulama, sebab ternak gembalaan adalah yang digembalakan di padang rumput bebas.”

Madzhab Imam Malik menyatakan:
“Sesungguhnya unta yang dipekerjakan, sapi yang dipekerjakan, dan domba yang digemukkan, ada zakatnya.”

Abu Umar ibn Abdil Barr mengatakan:
“Ini adalah ucapan Imam Laits, dan aku tidak tahu ada ulama lain yang berpandangan demikian selain dua ulama ini (Malik dan Laits –pent).”

Adapun Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Tsauri, Auza’i, dan yang lainnya mengatakan:
“Tidak ada perwajiban zakat atas hewan ternak jenis ini.”

Pandangan yang terakhir ini juga merupakan pandangan sejumlah sahabat Nabi, seperti Ali ibn Abi Thalib, Jabir, Muadz ibn Jabal, dan demikian juga Umar ibn Abdul Aziz dalam surat keputusannya.

Ada riwayat dari Bahz ibn Hukaim, dari bapaknya (Hukaim), dan kakeknya, dari Nabi SAW bersabda:
“Setiap hewan ternak gembalaan, untuk tiap 40 ekor zakatnya satu ekor bintu labun.”HR. Abu Daud 1575, Nasa’i 2449, Ahmad 5/2 dan 4.

Maka, batasan zakat di sini adalah dengan kata “digembalakan”. Dan kata-kata yang bersifat umum dibawa kepada makna khusus jika masih dalam satu jenis, tanpa ada perbedaan pandangan pun di kalangan ulama. Demikian juga hadits Abu Bakar perihal kambing gembalaan.”

Sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Seseorang yang memiliki kewajiban zakat jadza’ah atas kepemilikan tenak unta, namun ia tidak memiliki jadza’ah tersebut ... dst.” Tidak ada dalam riwayat Imam Malik, bahkan Imam Malik mengatakan: “Jika seorang pezakat tidak memiliki sapi seusia tersebut --semisal jadzaah atau yang lainnya-- maka, zakatnya adalah dengan yang terdekat dengan jadza’ah tersebut dan aku tidak suka kalau seseorang menunaikan zakat dengan nilai nominal jadza’ah.”

Imam Malik mengatakan:
“Jika tidak ditemukan ternak sesuai ketentuan usianya untuk membayar zakatnya, maka tidak boleh mengambil yang usianya diatas ketentuannya atau dibawahnya, dan tidak pula tidak menambahkan dirham, melainkan pezakat memberikan zakatnya berupa sapi musanna.

Imam Tsauri, Syafi’i, dan Ahmad mengatakan/berpendapat persis seperti yang disebutkabn di dalam hadits, yaitu jika tidak didapati zakat sesuai ketentuan seusianya, maka diambil penggantinya dari usia yang ada, serta diberikan kepada pezakat dua kambing atau 20 dirham sebagai kembalian, atau diambil zakat sebagaimana disebutkan lengkap di dalam hadits tersebut.

Dan Madzhab Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya menyatakan:
“Jika mau diambil zakat berupa nilai nominalnya atau mengambil hewan yang lebih bagus daripadanya, namun diberikan kembalian kepada pezakat.”

Imam Malik tidak mengatakan demikian, sebab Imam Malik hanya meriwayatkan hadits tentang surat Umar dan tidak meriwayatkan hadits tentang surat Abu Bakar yang menyebutkan adanya tambahan. Inilah asal-muasal perbedaan cara pandang para ulama tersebut.

Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
“Jika unta tersebut lebih dari 120 ekor, maka setiap 40 ekornya dizakati satu ekor bintu labun; setiap 50 ekornya dizakati satu ekor hiqqah.”
Tentang ini, Abu Umar ibnAbdil Barr mengatakan: “Dalam hal ini, ada perbedaan pandangan, yaitu jika lebihnya cuma satu ekor (maksudnya 121 ekor –pent); Imam Malik menyatakan bahwa jika lebihnya cuma satu ekor (121 ekor), maka amil zakat boleh memilih antara mengambil 2 ekor hiqqah atau 3 ekor bintu labun.

Imam Al-Zuhri menyatakan bahwa jika hanya lebih dari satu ekor (121), maka zakatnya 3 ekor bintu labun, hingga 130 ekor maka zakatnya satu ekor hiqqah dan 2 ekor bintu labun. Dan ini pulalah yang dipegang oleh Imam Syafi’i, Auzai, Abu Tsaur, Abu Ubaid, bahkan ini adalah pendapat Imam Muhammad ibn Ishhaq, serta pendapat para imam negeri Hijaz (Mekah dan Madinah –pent).

Pandangan yang terakhir ini yang lebih rajih (lebih dekat dengan kebenaran) menurut para ulama. Adapun pandangan para ulama Kufah tentang ternak unta yang jumlahnya lebih dari 120 ekor adalah dengan cara mengambil cara yang wajib, yaitu untuk setiap 5 ekor dizakati 1 ekor kambing.***

Z. Adil Dalam Mengambil Zakat

Rasulullah bersabda:
“Dan jangan mengambil zakat hewan ternak yang harimah (hewan yang sampai tanggal giginya karena saking tuanya), rusak matanya, dan kurus, serta yang ada luka di badannya.”

Sabda Rasulullah SAW ini dipegang dan dijadikan syarat sahnya zakat oleh seluruh ulama di berbagai negeri Islam, sebab bagian zakat yang diambil atau dikeluarkan harus atas dasar keadilan, sebagaimana perkataan Umar ibn Khaththab. Beliau mengatakan: “Ambillah zakat dengan cara yang adil dari harta yang pertengahan dan pilihan.”

Harimah atau kambing yang sudah tua dan dzat uwar (memiliki cacat) adalah dua kriteria hewan yang tidak sah jika digunakan untuk membayar zakat; kambing adalah untuk membayar zakat unta, jadza’ah untuk kambing kacangan/kambing jawa, dan tsaniyah untuk domba. Namun apabila menunaikan zakatnya dengan nilai nominalnya, tentang hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama.

Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh memisahkan ternak yang tergabung dan tidak boleh menggabungkan ternak yang terpisah karena khawatir terbebani untuk membayar zakat.”

Hal ini mengandung makna, baik para pezakat atau amil zakat ataupun keduanya. Larangan Nabi SAW ini adalah tentang ternak yang bercampur, terkadang bercampur beberapa kambing, apabila dipisahkan, maka jumlah zakat yang mestinya dibayarkan menjadi lebih sedikit, ataupun sebaliknya, ada beberapa kelompok gembalaan jika digabungkan akan lebih sedikit jumlah zakat yang mestinya dibayarkan. Maka, Rasulullah SAW melarang muslimin dari melakukan praktik yang demikian.

Ada beberapa contoh deskrispi tentang larangan Nabi SAW di atas:

1. Misalnya ada 3 orang yang masing-masingnya memiliki 40 ekor kambing, maka total zakat 3 orang tersebut adalah 3 ekor kambing, namun, apabila digabungkan, maka zakatnya hanya satu kambing;
2. Ada dua orang yang memiliki 202 ekor kambing, masing-masingnya memiliki 100 ekor, maka total zakat yang mestinya ditunaikan oleh keduanya adalah 3 ekor kambing, namun, apabila dipisahkan, maka untuk setiap orang hanya terbebani zakat 1 ekor kambing.

Rasulullah bersabda:
“Dan hewan ternak yang bercampur kepemilikannya, maka masing-masing diambil zakatnya secara sama.”

Maksudnya adalah jika amil mengambil zakat satu ekor kambing dari salah seorang pezakat yang ternaknya bercampur dengan ternak milik orang lain, maka kepada peternak lainnya ditentukan zakat sebesar zakat yang ditetapkan kepada peternak pertama.***

Z-a. Nishab Kambing

Rasulullah SAW bersabda:
“Kambing yang digembala, maka jika mencapai 40 ekor, maka zakatnya satu ekor kambing, hal ini sampai jumlah ternaknya mencapai 200 ekor; jika jumlah ternaknya lebih dari 200 ekor hingga 300 ekor, maka zakatnya 3 ekor kambing; jika lebih dari 300 ekor, maka untuk setiap 100 ekornya zakatnya adalah 1 ekor.” Ketentuan ini adalah disepakati untuk jenis kambing dan domba.

Digembalakan di padang rumput bebas adalah satu salah syarat dalam perwajiban zakat hewan ternak, kecuali pandangan Imam Malik dan Laits --sebagaimana sudah kami paparkan terdahulu-- karena kedua imam ini menyatakan tetap wajibnya zakat atas hewan ternak yang tidak digembalakan di padang rumput bebas. Akan tetapi, tidak ada perbedaan sama sekali di kalangan para ulama bahwasannya kambing dan domba dianggap satu jenis dalam perzakatan, demikian juga unta dalam berbagai jenisnya, juga sapi dan kerbau.

Para ulama hanyalah berbeda pendapat tentang proporsi jumlah jika salah satu sub-bagian lebih banyak dari sub-bagian yang lain. Sebagian ulama menyatakan bebas mengambil zakat dari jenis yang mana saja. Sebagian ulama lainnya menyatakan diambil pertengahannya. (Misalnya, seseorang memiliki 40 ekor kambing yang terdiri atas 20 ekor kambing dan 20 ekor domba, atau dengan proporsi yang berbeda, maka zakatnya bisa dari salah satu jenis kambing tersebut -pent).

Z-b. Nishab Sapi

Telah shahih dari Muadz ibn Jabal, bahwasannya Rasulullah SAW ketika hendak mengutusnya ke Yaman, beliau menyuruhnya untuk mengambil zakat sapi untuk setiap 30 ekor zakatnya seekor tabi’ atau tabi’ah, setiap 40 ekor sapi zakatnya seekor musannah; dan untuk mengambil jizyah dari setiap halim satu dinar.” HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, hasan shahih.

Demikian juga dengan surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW dan diberikan kepada Amr ibn Hizam, diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa, dari jalan Thawus dari Muadz, Abu Ubaid menghikayatkan bahwa hal ini adalah ijma’ ulama Islam. Dan mayoritas ulama menyatakan bahwa sapi yang jumlahnya kurang dari 30 ekor tidak ada zakatnya. Dan dihikayatkan dari Said dan Al-Zuhri bahwasannya untuk lima sapi, zakatnya 1 ekor kambing, sebagaimana unta.

Diantara syarat zakat ternak sapi, adalah ia digembalakan di padang rumput bebas, sebagaimana disebutkan dalam hadits Amr ibn Syuaib dari bapaknya (Syuaib) dan kakeknya, dari Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas hewan ternak yang dipekerjakan.” HR. Abu Daud 1572, dari jalan Ali ibn AbiThalib, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/116 dari jalan Amr ibn Hizam. Dalam sanad kedua hadits ini, ada kelemahan, namun yang masyhur dari sanad hadits ini adalah mauquf. Dan diriwayatkan dari Ali, Muadz, dan Jabir, ketiganya mengatakan: “Tidak ada zakat atas sapi yang dipekerjakan.” Akan tetapi, Imam Malik dan Laits menyatakan: “Tetap ada zakatnya.”

Untuk sapi yang berjumlah 30 ekor zakatnya 1 ekor jantan. Dan untuk 40 ekor zakatnya sapi betina, namun, jika pezakat membayar zakatnya dengan sapi jantan, apakah sah?

Tentang hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama:

1. Imam Ibn Al-Qasim menyatakan sah;
2. Imam Asyhab menyatakan tidak sah. Dan ini adalah pandangan dan madzhab Imam Ahmad serta sekelompok ulama lainnya.

Jika semua ternak sapinya jantan, maka zakatnya sapi jantan. Jika mencapai 120 ekor, maka pemilik ternak boleh memilih: membayar zakat dengan 3 ekor musannah atau 4 ekor tabi’ah. Tabi’ adalah sapi yang telah berusia 1 tahun penuh dan masuk pada usia tahun ke dua. Sapi Musannah adalah sapi yang telah berusia 2 tahun penuh.***

Z-c. Kerbau, Sapi, dan Banteng

Kerbau adalah menempati kedudukan sapi. Demikian dikatakan oleh Imam Ibn Al-Mundzir sebagai ijma seluruh ulama Islam. Adapun banteng, mayoritas ulama menyatakan tidak ada zakatnya. Sebagian ulama lainnya menyatakan: “Jika lahir dari perkawinan banteng dengan sapi, maka Imam Syafi’i menyatakan tidak ada zakatnya;Imam Ahmad menyatakan ada zakatnya.” Adapun Imam Malik memilah antara jantan dan betinanya, jika betinanya dari sapi, maka dikeluarkanlah zakatnya, jika betinanya dari banteng maka tidak ada zakatnya.

Anak hewan ternak dari semua jenis ternak (unta, sapi, dan kambing) digabungkan kepada jenis ternak dewasa, akan tetapi dalam mengeluarkan zakatnya, dikeluarkan yang pertengahannya. Jika seluruh hewan ternaknya adalah jenis anak-anak (Bahasa Jawa: pedhet untuk anak sapi, gudel untuk anak kerbau, dan cempe untuk anak kambing -pent), sebagian ulama menyatakan zakat diambil dari jenis tersebut; sebagian ulama lain menyatakan: “untuk zakatnya, peternak harus membeli ternak yang sudah dewasa.”***

Z-d. Ternak Yang Terdiri Atas Berbagai Jenis

Hewan ternak yang terdiri atas berbagai jenis --jika ternak masing-masing peternak itu berbeda dengan milik peternak lainnya-- jika tidak berbeda, maka kedua peternak berserikat dalam perzakatannya; jika keduanya bercampur, maka keduanya membayar zakatnya atas ternak yang dianggap satu peternakan. Misalnya, setiap orang memiliki 40 ekor kambing, maka masing-masing peternak zakatnya 1 ekor kambing dengan nilai nominal sama.

Hewan ternak yang bercampur ini, dalam urusan zakat, harus memenuhi tiga syarat, sebagian ulama menyatakan dua, dan sebagian ulama menyatakan satu syarat saja, yaitu:

1. Satu tempat minum yang sama;
2. Satu tempat gembalaan (padang rumput) yang sama;
3. Satu kandang yang sama;
4. Satu penggembala/pimpinan;
5. Satu pejantan yang sama.

Sebagian ulama lain menyatakan: “Syaratnya hanya satu, yaitu digembala atau dikelola oleh satu penggembala/peternak yang sama., sebab dengan hal ini kedua ternak itu bersatu, demikian juga dalam hal-hal lainnya.

Apakah menjadi syarat, masing-masing peternak memiliki ternak hingga mencapai nishab ataukah tidak? Imam Malik menyatakan masing-masing harus mencapai nishab, sedangkan ulama lain menyatakan tidak harus.

Z-e. Rincian Zakat Ternak

1. Jika seseorang memiliki hewan ternak kemudian berkembang biak, jika jumlah betina mencapai nishab, maka zakat anak-anaknya mengikuti betinanya, dan ditentukanlah awal haul untuk betina, menurut mayoritas ulama.
2. Jika tidak mencapai nishab, kemudian berkembang biak --walaupun belum mencapai haul karena kurang satu hari-- hingga mencapai nishab, maka dikeluarkanlah zakatnya, menurut Imam Malik, dan anak-anaknya ditentukan haulnya berdasarkan haul betina tersebut.
3. Jika peternak menjual sebanyak 1 nishab dengan jenis yang sama, maka yang keduanya (anak-anaknya) ditentukan haulnya dengan haul ternak betina;
4. Jika peternak membeli hewan ternak sebanyak 1 nishab dengan uang tunai, pada saat itu ternak yang pertama belum melampaui/melewati haul (12 bulan), maka haul ternak sebelumnya mengikuti haul ternak yang baru dibeli tersebut, menurut satu dari dua pandangan ulama.***

Z-d. Zakat adalah untuk Daerah Tertentu

Zakat disalurkan kepada masing-masing negeri menurut tempat dimana zakat itu diambil. Maka, zakat yang diambil dari Syam (Syams waktu itu adalah setingkat dengan kegubernuran/wilayah, kini Syam menjadi 4 negara: Libanon, Suriah, Palestina, dan Yordania –pent), disalurkan di Syam, Zakat Mesir disalurkan di Mesir. Lalu, apakah boleh memindahkan harta zakat dari Syam ke Madinah atau yang lainnya? Tentang ini, ada dua pandangan ulama.

Imam Malik menyatakan:
“Tidak apa-apa jika dibutuhkan.

Dan jika penduduk negeri tadi tidak ada lagi mustahiqnya, maka tidak ada khilaf sedikitpun dikalangan ulama tentang bolehnya memindahwilayahkan zakat. Dan tatkala Muadz ibn Jabal membawa harta zakat dari Yaman (Yaman adalah kegubernuran, waktu itu –pent) ke Madinah, Umar (saat itu adalah khalifah –pent) memprotesnya seraya berkata: “Aku tidak mengutusmu sebagai penarik zakat Yaman untuk dibawa ke Madinah.” Maka Muadz menjawab: “Aku sudah tidak lagi mendapati penduduk Yaman yang mustahiq.” (Muadz ke Yaman adalah diutus oleh Rasulullah, namun tetap dianggap sebagai keputusan Khalifah sepeninggal beliau termasuk Umar bin Khaththab, -pent)

Namun, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan: “Tidak boleh dipindahkan ke negeri lain.” Imam Malik membolehkan untuk membawa harta zakat ke negeri lain.***

Z-f. Pembagian Zakat

Adapun tentang pembagian zakat, Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir, miskin, amilin, muallaf, fii al-riqab, gharim, fii sabilillah, dan ibnu sabil. Sebagai sebuah kewajiban dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.” Q.S. Al-Taubah: 60.

Imam Abu Ja’far Al-Thabari menyatakan:
”Mayoritas (jumhur) ulama mengatakan bahwasannya tentang pembagian harta zakat kepada mustahiqnya adalah kepada mustahiq manapun dari delapan ashnaf adalah boleh. Penyebutan delapan ashnaf hanyalah sekedar informasi dari-Nya bahwa zakat tidak boleh disalurkan diluar delapan ashnaf yang tersebut di atas, dan tidak harus dibagikan merata kepada delapan ashnaf.”

Sebuah riwayat dengan sanad yang sampai ke Hudzaifah, dari Ibn Abbas, keduanya berkata: “Jika engkau mau, boleh engkau salurkan kepada satu ashnaf atau dua ashnaf atau tiga ashnaf.”

Diriwayatkan dari Umar, dia berkata:
“Ashnaf manapun yang engkau beri zakat, maka sah sudah zakatmu.” Dalam riwayat yang sama, Umar pernah menarik zakat dan menyalurkannya kepada satu ashnaf saja. Dan ini adalah pandangan Abu Al-Aliyah, Maimun ibn Mihran, dan Ibrahim Al-Nukha’i.

Imam Al-Thabari mengatakan:
“Sebagian ulama muta’akhirin mengatakan bahwasannya penyaluran harta zakat kepada enam ashnaf, amil dan muallaf gugur, tidak termasuk mustahiq. Yang benar adalah bahwa sesungguhnya Allah menjadikan zakat dalam dua makna:

1. Untuk menghilangkan gap/jurang pemisah di antara kaum muslimin, dan
2. Untuk membela dan mengokohkan Islam.

Maka, setiap usaha untuk membela dan mengokohkan Islam, diberi harta zakat, baik orang kaya ataupun miskin, seperti mujahid (pejuang perang) dan yang semisalnya. Adapun untuk tujuan menghilangkan gap diantara muslimin, maka dikeluarkan harta zakat kepada muallaf atau yang lainnya. *** Diterjemahkan oleh: Abu Muhammad ibn Shadiq.